Hukuman dalam Islam, contoh hukum pidana islam hukum jinayat dalam islam pengertian uqubat dalam islam apa nama hukuman dalam istilah ajaran islam contoh kasus hukum pidana islam bentuk hukuman hudud macam macam hudud hukuman yang dijatuhkan sama dengan perbuatan yang dilakukan disebut
Monday, April 23, 2018
Add Comment
A. Pengertian Hukuman
Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz 'uqubah menurut bahasa berasal dari kata: (عقب) yang sinonimnya: (خلفه وجاء بعقبه). Artinya mengiringnya dan datang di belakangnya. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan.
Dalam bahasa Indonesia, hukuman diartikan sebagai “siksa dan sebagainya", atau "keputusan yang dijatuhkan oleh hakim”.
Menurut Sudarto seperti yang dikutip oleh Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad, pengertian pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan menurut Roeslan Saleh yang juga di kutip oleh Mustafa Abdullah, pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
Wirjono Prodjodikoro rnengemukakan bahwa pidana berarti yang dipidanakan, yaitu yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari bahwa hukuman atau pidana adalah suatu penderitaan atau nestapa, atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan yang diberikan dengan sengaja oleh badan yang berwenang kepada seseorang yang cakap menurut hukum yang telah melakukan perbuatan atau peristiwa.[1]
B. Syarat Dijatuhkannya Hukuman
Agar hukuman itu diakui keberadaannya maka harus dipenuhi tiga syarat. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hukuman Harus Ada Dasarnya Dari Syara’
Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri walaupun ia berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan lebih utama daripada hukuman yang telah ditetapkan.
2. Hukuman Harus Bersifat Pribadi (Perorangan)
3. Hukuman Harus Berlaku Umum
C. Tujuan Dan Urgensi Hukuman
Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan yang luas dari hukum syari’at Islam sebagai berikut.
1. Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama dan utama dari syari’at. Dalam kehidupan manusia, ini merupakan hal penting, sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban dimana-mana. Kelima kebutuhan hidup yang primer, dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan istilah al-maqashid al-khamsah, yaitu: agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan hak milik.
2. Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut hajiyat. Ini mencakup hal-hal penting bagi ketentuan itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban tanggung jawab mereka. Ketiadaan berbagai fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan ketidaktertiban, akan tetapi dapat menambah kesulitan bagi masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-keperluan ini terdiri dari berbagai hal yang menyingkirkan kesulitan dari masyarakat dan membuat hidup menjadi mudah bagi mereka.
3. Tujuan ketiga dari perundang-undangan Islam adalah membuiat perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur urusan hidup lebih baik (keperluan tersier) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak membawa kekacauan sebagaimana ketiadaan kebutuhan-kebutuhan hidup, juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan berbagai kesulitan dan membuat hidup menjadi mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual.[3]
Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ialah pencegahan (ar-rad’u waz-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-islah wat-tahzib).[4]
1. Pencegahan (الردع والزجر)
Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-menerus melakukan jarimah tersebut. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama. Dengan demikian. kegunaan pencegahan adalah rangkap. yaitu yang menahan orang yang berbuat itu sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain untuk tidak berbuat seperti itu serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.[5]
Oleh karena perbuatan-perbuatan yang diancamkan hukuman adakalanya berupa pelanggaran terhadap larangan atau meninggalkan kewajiban, maka arti pencegahan pada keadaan pertama ialah larangan memperbuat dan arti pencegahan pada keadaan kedua ialah agar pembuat menghentikan peninggalannya terhadap kewajiban, dimana ia dijatuhi hukuman agar ia mau menjalankan kewajiban tersebut, seperti halnya terhadap orang yang meninggalkan salat atau meninggalkan zakat atau orang yang tidak mau memberikan makan kepada anaknya yang masih dibawah umur.
Boleh jadi dalam keadaan kedua tersebut hukuman yang dijatuhkan lebih berat daripada dalam keadaan pertama, karena tujuan penjatuhan hukuman pada peninggalan kewajiban ialah memaksa pembuat untuk mengerjakan kewajiban. Karena itu bisa sebentar-sebentar dijatuhi hukuman sehingga ia mau memperbuat kewajibannya.
Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan, maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian dapat terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman.
2. Perbaikan dan Pendidikan (الأصلاح والتهديب)
Selain mencegah dan menakut-nakuti, syari’at Islam tidak lalai untuk memberikan perhatiannya terhadap diri pembuat. Bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri pembuat merupakan tujuan utama, sehingga penjauhan manusia terhadap jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannnya terhadap jarimah, serta menjauhkan diri dari lingkungannya, agar mendapatkan ridha Tuhan. Kesadaran yang demikian keadaannya tentu merupakan alat yang paling baik untuk memberantas jarimah, karena seseorang sebelum memperbuat jarimah ia akan memfikirkan bahwa Tuhan tentu mengetahui perbuatannya dan hukuman akan menimpa dirinya, baik diketahui orang atau tidak. Baik ia dapat ditangkap oleh penguasa negara, kemudian dijatuhi hukuman didunia, atau ia dapat meloloskan diri dari kekuasaaan dunia, namun ia tidak akan dapat menghindarkandiri dari hukuman akhirat. Kesadaran semacam inilah yang selalu menjadi idam-idaman sarjana-sarjana positif dan psara penguasa pula.
Syari’at Islam, dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik dan dikuasai oleh rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya. Karena sesuatu jarimah pada hakekatnya adalah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan serta membangkitkan kemarahan masyarakat terhadap pembuatnya, di samping menimbulkan rasa kasih sayang terhadap korbannya, maka hukuman yang dijatuhkan atas diri pembuat tidak lain
merupakan salah satu cara menyatakan reaksi dan balasan dari masyarakat terhadap perbuatan atau pembuat yang telah melanggar kehormatannya dan merupakan usaha penenangan terhadap diri korban. Dengan hukuman itu dimaksudkan untuk memberikan rasa derita yang harus dialami oleh pembuat, sebagai alat penyuci dirinya, dan dengan demikian dapat terwujud rasa bkeadilan. Tujuan-tujuan tersebut kita dapati dengan jelas dengan kata-kata para fuqoha dan dari jiwa aturan-aturan Syari’at Islam beserta nas-nasnya. [6]
Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz 'uqubah menurut bahasa berasal dari kata: (عقب) yang sinonimnya: (خلفه وجاء بعقبه). Artinya mengiringnya dan datang di belakangnya. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan.
Dalam bahasa Indonesia, hukuman diartikan sebagai “siksa dan sebagainya", atau "keputusan yang dijatuhkan oleh hakim”.
Menurut Sudarto seperti yang dikutip oleh Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad, pengertian pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan menurut Roeslan Saleh yang juga di kutip oleh Mustafa Abdullah, pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
Wirjono Prodjodikoro rnengemukakan bahwa pidana berarti yang dipidanakan, yaitu yang oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari bahwa hukuman atau pidana adalah suatu penderitaan atau nestapa, atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan yang diberikan dengan sengaja oleh badan yang berwenang kepada seseorang yang cakap menurut hukum yang telah melakukan perbuatan atau peristiwa.[1]
B. Syarat Dijatuhkannya Hukuman
Agar hukuman itu diakui keberadaannya maka harus dipenuhi tiga syarat. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hukuman Harus Ada Dasarnya Dari Syara’
Hukum dianggap mempunyai dasar (Syar'iyah) apabila ia didasarkan kepada sumber-sumber syara’. seperti Alquran, As-Sunnah. Ijma’ atau undang-undang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil amri) seperti dalam hukuman ta’zir. Dalam hal hukurnan ditetapkan oleh Ulil amri maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syara’. Apabila bertentangan tentu hukuman tersebut menjadi batal.
Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri walaupun ia berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan lebih utama daripada hukuman yang telah ditetapkan.
2. Hukuman Harus Bersifat Pribadi (Perorangan)
Hukum disyariatkan harus bersifat pribadi atau perorangan. Ini mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Syarat ini telah dibicarakan berkaitan dengan masalah pertanggung jawaban.
3. Hukuman Harus Berlaku Umum
Selain dua syarat yang disebutkan diatas, hukuman juga disyaratkan harus berlaku umum. Ini berarti hukuman harus berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi, apa pun pangkat, jabatan, status dan kedudukannya. Didepan hukum semua orang statusnya sama, tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, antara pejabat dengan rakyat biasa, antara bangsawan dengan rakyat jelata.[2]
C. Tujuan Dan Urgensi Hukuman
Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan yang luas dari hukum syari’at Islam sebagai berikut.
1. Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama dan utama dari syari’at. Dalam kehidupan manusia, ini merupakan hal penting, sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban dimana-mana. Kelima kebutuhan hidup yang primer, dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan istilah al-maqashid al-khamsah, yaitu: agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan hak milik.
2. Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut hajiyat. Ini mencakup hal-hal penting bagi ketentuan itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban tanggung jawab mereka. Ketiadaan berbagai fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan ketidaktertiban, akan tetapi dapat menambah kesulitan bagi masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-keperluan ini terdiri dari berbagai hal yang menyingkirkan kesulitan dari masyarakat dan membuat hidup menjadi mudah bagi mereka.
3. Tujuan ketiga dari perundang-undangan Islam adalah membuiat perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur urusan hidup lebih baik (keperluan tersier) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak membawa kekacauan sebagaimana ketiadaan kebutuhan-kebutuhan hidup, juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan berbagai kesulitan dan membuat hidup menjadi mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual.[3]
Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ialah pencegahan (ar-rad’u waz-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-islah wat-tahzib).[4]
1. Pencegahan (الردع والزجر)
Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-menerus melakukan jarimah tersebut. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama. Dengan demikian. kegunaan pencegahan adalah rangkap. yaitu yang menahan orang yang berbuat itu sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain untuk tidak berbuat seperti itu serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.[5]
Oleh karena perbuatan-perbuatan yang diancamkan hukuman adakalanya berupa pelanggaran terhadap larangan atau meninggalkan kewajiban, maka arti pencegahan pada keadaan pertama ialah larangan memperbuat dan arti pencegahan pada keadaan kedua ialah agar pembuat menghentikan peninggalannya terhadap kewajiban, dimana ia dijatuhi hukuman agar ia mau menjalankan kewajiban tersebut, seperti halnya terhadap orang yang meninggalkan salat atau meninggalkan zakat atau orang yang tidak mau memberikan makan kepada anaknya yang masih dibawah umur.
Boleh jadi dalam keadaan kedua tersebut hukuman yang dijatuhkan lebih berat daripada dalam keadaan pertama, karena tujuan penjatuhan hukuman pada peninggalan kewajiban ialah memaksa pembuat untuk mengerjakan kewajiban. Karena itu bisa sebentar-sebentar dijatuhi hukuman sehingga ia mau memperbuat kewajibannya.
Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan, maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian dapat terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman.
2. Perbaikan dan Pendidikan (الأصلاح والتهديب)
Selain mencegah dan menakut-nakuti, syari’at Islam tidak lalai untuk memberikan perhatiannya terhadap diri pembuat. Bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri pembuat merupakan tujuan utama, sehingga penjauhan manusia terhadap jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannnya terhadap jarimah, serta menjauhkan diri dari lingkungannya, agar mendapatkan ridha Tuhan. Kesadaran yang demikian keadaannya tentu merupakan alat yang paling baik untuk memberantas jarimah, karena seseorang sebelum memperbuat jarimah ia akan memfikirkan bahwa Tuhan tentu mengetahui perbuatannya dan hukuman akan menimpa dirinya, baik diketahui orang atau tidak. Baik ia dapat ditangkap oleh penguasa negara, kemudian dijatuhi hukuman didunia, atau ia dapat meloloskan diri dari kekuasaaan dunia, namun ia tidak akan dapat menghindarkandiri dari hukuman akhirat. Kesadaran semacam inilah yang selalu menjadi idam-idaman sarjana-sarjana positif dan psara penguasa pula.
Syari’at Islam, dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik dan dikuasai oleh rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya. Karena sesuatu jarimah pada hakekatnya adalah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan serta membangkitkan kemarahan masyarakat terhadap pembuatnya, di samping menimbulkan rasa kasih sayang terhadap korbannya, maka hukuman yang dijatuhkan atas diri pembuat tidak lain
merupakan salah satu cara menyatakan reaksi dan balasan dari masyarakat terhadap perbuatan atau pembuat yang telah melanggar kehormatannya dan merupakan usaha penenangan terhadap diri korban. Dengan hukuman itu dimaksudkan untuk memberikan rasa derita yang harus dialami oleh pembuat, sebagai alat penyuci dirinya, dan dengan demikian dapat terwujud rasa bkeadilan. Tujuan-tujuan tersebut kita dapati dengan jelas dengan kata-kata para fuqoha dan dari jiwa aturan-aturan Syari’at Islam beserta nas-nasnya. [6]
0 Response to "Hukuman dalam Islam, contoh hukum pidana islam hukum jinayat dalam islam pengertian uqubat dalam islam apa nama hukuman dalam istilah ajaran islam contoh kasus hukum pidana islam bentuk hukuman hudud macam macam hudud hukuman yang dijatuhkan sama dengan perbuatan yang dilakukan disebut"
Post a Comment