بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله رب العالمين، اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد ، لا إله إلا أنت سبحانك إني كنت من الظالمين

Hukum Keluarga, prinsip perkawinan, prinsip hukum keluarga dalam undang-undang, hukum keluarga pdf dasar hukum keluarga fungsi hukum keluarga hukum keluarga menurut uu no 1 tahun 1974 hukum orang dan hukum keluarga tinjauan pustaka hukum keluarga contoh kasus hukum keluarga struktur tertentu dalam sistem hukum keluarga

Hukum Keluarga, prinsip perkawinan, prinsip hukum keluarga dalam undang-undang

A.    Pengertian Hukum Keluarga

Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan kata  familierecht (belanda) atau law of familie (inggris).[1] Istilah keluarga dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak istri, sedangkan dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat dekat.[2] Ali affandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai “Keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).[3]


Adapun pendapat-pendapat lain mengenai hukum keluarga, yaitu:
a.       Van Apeldoorn
Hukum keluarga adalah peraturan hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga.
b.      C.S.T Kansil
Hukum keluarga memuat rangkaian peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup kekeluargaan.
c.       R. Subekti
Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan.
d.      Rachmadi Usman
Hukum kekeluargaan adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai hubungan antar pribadi alamiah yang berlainan jenis dalam suatu ikatan kekeluargaan.



e.       Djaja S. Meliala
Hukum keluarga adalah keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum antara keluarga sedarah dan keluarga kerena terjadinya perkawinan
f.        Sudarsono
Hukum kekeluargaan adalah keseluruhan ketentuan yang menyangkut hubungan hukum mengenai kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan.
Ada dua pokok kajian dalam definisi hukum keluarga yang dikemukakan oleh Ali Affiandi, yaitu mengatur hubungan hukum yang berkaitan:
Keluarga sedarah dan Perkawinan
Pertalian keluarga karena turunan disebut keluarga sedarah,artinya sanak saudara yang senenek moyang. Keluarga sedarah ini ada yang ditarik menurut garis bapak yang disebut matrinial dan ada yang ditarik menurut garis ibu dan bapak yang disebut parental atau bilateral.
Pertalian keluarga karena perkawinan disebut keluarga semenda, artinya sanak saudara yang terjadi karena adanya ikatan perkawinan, yang terdiri dari sanak saudara suami dan sanak saudara istri. Sedangkan pertalian keluarga karena adat disebut keluarga adat, artinya yang terjadi karena adanya ikatan adat, misalnya saudara angkat.


B.     Prinsip-Prinsip Atau Asas-Asas Perkawinan

Menurut Undang-Undang Perkawinan, Disebtkan Di Dalam Penjelasan Umumnya Sebagai Berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
b. Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
d. Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.
f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.
Kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.[4]

C.    Prinsip-prinsip hukum perkawinan dalam alquran dan hadis

Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari alquran dan alhadist, yang kemudian di tuangkan dalam garis-garis hukum melalui undang-undanhg no 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan kompilasi hukum islam tahun 1991 mengandung 7 asas kaidah hukum yaitu sebagai berikut:
1.      Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
2.      Asas keaabsahan perkawinan di dasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan dan harus di catat oleh petugas yang berwenang
3.      Asas monogami terbuka
4.      Asas calon suami dan isteri telah matang jiwa raganya dapat mel;angsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat sehingga tidak berfikifr kepada perceraian
5.      Asas mempersulit terjadinya perceraian
6.      Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan isteri baik dalam kehidupan rumah  tangga dan kehidupan masyrakat
7.      Asas pencatatan perkawinan.[5]

D.    Prinsip-prinsip hukum keluarga dalam Maqasid Asy-Syariah





Prinsip-prinsip dan penerapan Maqasid Asy-Syariah dalam Hukum Keluarga Islam
Maqasid Asy-Syariah pada umumnya terdiri dari lima tujuan, yakni:[6]
1.      Memelihara Agama (Hifz ad-Din)           
Tujuan untuk memelihara agama, dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni: pertama, tingkatan daruriyah. Pada tingkatan ini, memelihara agama dalam artian melaksanakan kewajiban keagamaan, menjadi sesuatu yang primer (harus dilakukan oleh manusia). Manusia yang tidak memenuhi hal primer, mengakibatkan keagamaannya terancam. Contoh dalam tingkatan ini, seperti aturan dalam undang-undang di Indonesia, bahwa perkawinan harus dilaksanakan dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan.[7] Hal ini dalam rangka untuk memelihara agama masing-masing pihak. Ketika pasangan berbeda agama, dihawatirkan salah satu dari pasangan tersebut akan berpindah agama sesuai dengan pihak yang lebih berkuasa dalam pasangan. Hal ini jelas akan merusak agama asli pihak yang bersangkutan.
Kedua,  tingkatan hajiyah. Pada tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, akan tetapi hanya akan mempersulit orang yang melakukannya. Contoh dalam tingkatan ini, seperti perkawinan dengan orang yang memiliki agama yang sama, akan tetapi orang tersebut memiliki orang tua yang beda agama. Hal ini memang secara tidak langsung merusak agama dari para pasangan, akan tetapi sedikit mempersulit hubungan sebuah pasangan, karena orang tua memiliki peran yang cukup penting pula terhadap pasangan, seperti untuk memberi nasehat-nasehat, berbagi keluh kesah dan lain-lain.
Ketiga, tingkatan tahsiniyyah.Pada tingkatan ini dimaksudkan untuk menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus menyempurnakan pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan. Ketika hal ini tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula akan mempersulit orang yang melakukannya. Contoh pada tingkatan ini, seperti mengundang orang-orang yang berbeda agama pada sebuah pesta perkawinan.
2.      Memelihara Jiwa (Hifz an-Nafs)
Tujuan untuk memelihara jiwa, dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni: pertama, tingkatan daruriyah. Pada tingkatan ini, meliputi sesuatu yang primer (harus dilakukan oleh manusia). Manusia yang tidak memenuhi hal primer ini, mengakibatkan eksistensi jiwa manusia terancam. Contoh dalam tingkatan ini, seperti dilarangnya melakukan aborsi bagi para ibu, sekalipun anak di dalam kandungannya merupakan anak di luar nikah.
Kedua, tingkatan hajiyah. Pada tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, akan tetapi hanya akan mempersulit orang yang melakukannya. Contoh mengkonsumsi makanan yang bergizi bagi para ibu hamil, untuk memenuhi gizi janin yang ada di dalam kandungan.
Ketiga, tingkatan tahsiniyyah.Pada tingkatan ini, ketika tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam eksistensi jiwa dan tidak pula akan mempersulit kehidupan seseorang. Contoh pada tingkatan ini, seperti memeriksakan kandungan untuk mengetahui jenis kelamin sang bayi.
3.      Memelihara Akal (Hifz al-‘Aql)
Tujuan untuk memelihara akal, dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni: pertama, tingkatan daruriyah. Pada tingkatan ini, meliputi sesuatu yang primer (harus dilakukan oleh manusia). Manusia yang tidak memenuhi hal primer ini, mengakibatkan eksistensi akal manusia terancam. Contoh dalam tingkatan ini, seperti anjuran untuk mendidik anak pada usia dini dengan cara yang halus dan tidak mengandung unsur bentakan yang berlebihan.
Kedua,  tingkatan hajiyah. Pada tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan merusak akal manusia, akan tetapi hanya akan mempersulit orang yang bersangkutan. Contoh dalam tingkatan ini, seperti anjuran menuntut ilmu, terutama pada usia muda.
Ketiga, tingkatan tahsiniyyah.Pada tingkatan ini, ketika tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung. Contoh pada tingkatan ini, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berguna.
4.      Memelihara Keturunan (Hifz an-Nasl)
Tujuan untuk memelihara keturunan, dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni: pertama, tingkatan daruriyah. Pada tingkatan ini, meliputi sesuatu yang primer (harus dilakukan oleh manusia). Manusia yang tidak memenuhi hal primer ini, mengakibatkan eksistensi keturunan manusia akan terancam. Contoh dalam tingkatan ini, kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya.[8] Hal ini tetap saja terjadi, meskipun antara suami dan isteri telah bercerai.
Kedua,  tingkatan hajiyah. Pada tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan manusia, akan tetapi hanya akan mempersulit orang yang melakukannya. Contoh dalam tingkatan ini, seperti memenuhi segala kebutuhan anak yang diasuh oleh orang tua.
Ketiga, tingkatan tahsiniyyah.Pada tingkatan ini, ketika tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan dan tidak pula akan mempersulit orang yang bersangkutan, hal ini hanya berkaitan dengan etika dan martabat manusia. Contoh pada tingkatan ini, seperti disyari’atkannya khitbah dalam perkawinan.
5.      Memelihara Harta (Hifz al-Mal)
Tujuan untuk memelihara harta, dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni: pertama, tingkatan daruriyah. Pada tingkatan ini, meliputi sesuatu yang primer (harus dilakukan oleh manusia). Manusia yang tidak memenuhi hal primer ini, mengakibatkan eksistensi harta manusia terancam. Contoh dalam tingkatan ini, seperti pensyari’atan aturan kepemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Hal ini dapat berupa aturan mengenai waris dan pembagian harta bersama, baik dalam Kompilasi hukum Islam maupun UU Perkawinan No 1 Tahun 1974.[9]
Kedua, tingkatan hajiyah. Pada tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi harta manusia, akan tetapi hanya akan mempersulit orang yang melakukannya. Contoh dalam tingkatan ini, seperti pembagian harta peninggalan dengan tanpa dibimbing seseorang yang ahli dalam membagi, seperti pihak pengadilan, ulama dll.
Ketiga, tingkatan tahsiniyyah.Pada tingkatan ini, ketika tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam eksistensi harta dan tidak pula akan mempersulit kehidupan seseorang. Contoh pada tingkatan ini, seperti anjuran untuk menghindarkan diri dari penipuan dalam pembagian harta keluarga.
Seiring berjalannya waktu, Maqasid Asy-Syariah tidak hanya terdiri lima tujuan seperti yang telah dijelaskan di atas. Ada pendapat yang menambahkan satu tujuan yang lain di samping yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni: memelihara kehormatan. Menjaga kehormatan dapat meliputi kehormatan diri sendiri, anak, dan juga keluarga.
Tujuan untuk memelihara kehormatan, dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni: pertama, tingkatan daruriyah. Pada tingkatan ini, meliputi sesuatu yang primer (harus dilakukan oleh manusia). Manusia yang tidak memenuhi hal primer ini, mengakibatkan eksistensi kehormatannya terancam. Contoh dalam tingkatan ini, seperti pensyari’atan perkawinan bagi orang yang memang sudah mampu secara lahir maupun batin untuk melakukan perkawinan.
Kedua, tingkatan hajiyah. Pada tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi kehormatan manusia, akan tetapi hanya akan mempersulit orang yang melakukannya. Contoh dalam tingkatan ini, seperti anjuran berpuasa bagi orang yang sudah ingin melakukan perkawinan, akan tetapi belum memiliki bekal yang cukup untuk melakukan perkawinan.
Ketiga, tingkatan tahsiniyyah.Pada tingkatan ini, ketika tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam eksistensi kehormatan dan tidak pula akan mempersulit kehidupan seseorang. Contoh pada tingkatan ini, seperti pilihan untuk melakukan perkawinan kembali bagi orang yang sudah pernah melakukan perkawinan (sebab mati atau perceraian).

E.     Prinsip-prinsip hukum muamalah

Dalam buku “FiqihMuamalah”, karya DR. H. Nasron Haroen, MA dari Induksi para ulama terhadap al-Qur’an dan As-Sunnah, ditemukan beberapa keistimewaan ajaran muamalah di dalam kedua sumber hukum Islam, diantaranya :
1.      Dalam berabagi jenis muamalah, hukum dasarnya adalah boleh (Mubah) sampai ditemukan dalil yang melarangnya. Artinya selama tidak ada yang melarang kreasi jenis muamalah, maka muamalah itu dibolehkan. Inilah isi rahmat Allah terbesar yang diberikan Allah kepada umat manusia.[10]
2.      Prinsip lainnya adalah : Kejujuran, kemaslahatan umat, menjunjung tinggi prinsip-prinsip, saling tolong menolong, tidak mempersulit, dan suka sama suka.
3.      Prinsip dasar dalam persoalan muamalah adalah “untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia”, mereduksi permusuhan dan perselisihan di antara manusia dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi yang mengitari manusia itu sendiri.  Dari prinsip pertama ini, terlihat perbedaan persoalan muamalah dengan persoalan akidah, akhlak, dan ibadah. Allah tidak menurunkan syariah, kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan hidup hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban dan menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia.
4.      Dan dalam buku lain mengatakan bahwa Prinsip-prinsip Fiqih Muamalah adalah “Halal”, maksudnya disini adalah benda yang akan di transaksikan itu harus bersih dan halal. Yang mana terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 88 :
Artinya : “Makanlah bagimu apa yang direzkikan Allah Halal dan Baik. Maka bertaqwa yang kamu beriman kepadanya”.
5.      Azas Manfaat : Maksudnya adalah benda yang akan ditarnsaksikan itu adalah benda yang bermanfaat, baik manfaat yang dapat diarasakan secara langsung maupun manfaat yang tidak langsung, contohnya (buah-buahan atau bibit tanaman secara tidak langsungnya).
6.      Azaz Kerelaaan : dalam muamalah dimana saat bertransakisi harus adanya rasa saling suka sama suka, supaya nantinya tidak ada rasa kekcewaan satu sama lainnya.[11]
7.      Asas Kebjikan (Kebaikan) : maksudnya adalah setiap hubungan perdata sebagiannya mendatangkan kebajikan (kebaikan) kepada kedua belah pihak dan pihak ketiga dalam masyarakat. Kebajikan yang diperoleh seseorang haruslah didasarkan pada kesadaran pengembangan kebaikan dalam rangka kekeluargaan.
8.      Asas Mendahulukan kewajiban dari hak : bahwa dalam pelaksanannya hubungan perdata para pihak harus mengutamakan penuaian kewajiban terlebih dahulu daripada menurut hak.
9.      Asas Adil dan berimbang.
10.  Asas kemasaslahatan hidup.
11.  Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain : maksdunya adalah bahwasanya para pihak yang mengadakan hubungan perdata tidak boleh merugikan didri sendir dan orang lain dalam hubungan bertransaksi.[12]




KESIMPULAN
Hukum keluarga Islam yang telah diolah menjadi Undang-Undang di Indonesia, dapat dikatakan telah memenuhi maqasid asy-Syariah, meskipun belum secara maksimal yang merupakan prinsip-prinsip hukum keluarga.
Fungsi hukum pada umunya memiliki kemiripan dengan Maqashid asy-Syari’ah, yakni untuk mewujudkan ketertiban sosial dan menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Prinsip-prinsip muamalah dalam Islam sangatlah memenuhi syarat untuk bisa dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat, diantara Prinsip-prinsip tersebut  adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, Menjunjung tinggi nilai kejujuran, keadilan.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, cetakan pertama (Amzah: Jakarta, 2010)
Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007)
Hilman Hadi Kusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Cet. III, (PT Alumni, Bandung, 2005)
http://titikbalik.wordpress.com/2007/07/17/prinsip-prinsip-dasar-perkawinan/
Nasrun Haroen, FiqihMuamalah, ( Karya Media Pratama : Jakarta, 2000)
Rozalinda, Fiqh Muamalah,cetakan pertama (Hayfa Press: Padang, 2005)
Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika,2008)
Zainnudin, Hukum Perdata Islam Indonesia, cetakan pertama, (Jakarta:Sinar Grafika,2006)
[1] Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika,2008), h. 17
[2] Hilman Hadi Kusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Cet. III, (PT Alumni, Bandung, 2005), h. 22
[3] Salim, Op. Cit. h. 19
[4] Diakses pada 8 Oktober 2016 dari http://titikbalik.wordpress.com/2007/07/17/prinsip-prinsip-dasar-perkawinan/
[5] Zainnudin, Hukum Perdata Islam Indonesia, cetakan pertama, (Jakarta:Sinar Grafika,2006), h. 7
[6] Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 124-127.
[7] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat 1.
[8] Undang-Undang No 1 tentang Perkawinan Tahun 1974, Pasal 45.
[9] Kompilasi Hukum Islam, Pasal 96-97, BAB II, III, dan V, Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, Pasal 35-37.
[10] Nasrun Haroen, FiqihMuamalah, ( Karya Media Pratama : Jakarta, 2000)  h. xxi.
[11]Rozalinda, Fiqh Muamalah,cetakan pertama (Hayfa Press: Padang, 2005), h. 4-7.
[12]Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, cetakan pertama (Amzah: Jakarta, 2010), h. 5-11.


Hukuman dalam Islam 
Masalah-Masalah Yang Ada Dalam Patologi, Perjudian, Korupsi, Kriminalitas, Pelacuran 
MAHAR Tafsir Ayat Ahkam Surat An-Nisaa’ Ayat 4 Dan 19 
 perkembangan hukum Islam pada masa Abu Bakar dan Umar Ibn Khattab

Related Post:




0 Response to "Hukum Keluarga, prinsip perkawinan, prinsip hukum keluarga dalam undang-undang, hukum keluarga pdf dasar hukum keluarga fungsi hukum keluarga hukum keluarga menurut uu no 1 tahun 1974 hukum orang dan hukum keluarga tinjauan pustaka hukum keluarga contoh kasus hukum keluarga struktur tertentu dalam sistem hukum keluarga"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel