Hukum Keluarga, prinsip perkawinan, prinsip hukum keluarga dalam undang-undang, hukum keluarga pdf dasar hukum keluarga fungsi hukum keluarga hukum keluarga menurut uu no 1 tahun 1974 hukum orang dan hukum keluarga tinjauan pustaka hukum keluarga contoh kasus hukum keluarga struktur tertentu dalam sistem hukum keluarga
Monday, April 23, 2018
Add Comment
Hukum Keluarga, prinsip perkawinan, prinsip hukum keluarga dalam undang-undang
A. Pengertian Hukum Keluarga
Istilah hukum keluarga berasal
dari terjemahan kata familierecht (belanda) atau law of familie
(inggris).[1] Istilah keluarga dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak
istri, sedangkan dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota
kerabat dekat.[2] Ali affandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai
“Keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan
kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan
orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).[3]
Adapun pendapat-pendapat lain
mengenai hukum keluarga, yaitu:
a. Van
Apeldoorn
Hukum keluarga adalah peraturan
hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga.
b. C.S.T
Kansil
Hukum keluarga memuat rangkaian
peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup kekeluargaan.
c. R.
Subekti
Hukum keluarga adalah hukum yang
mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan
kekeluargaan.
d. Rachmadi
Usman
Hukum kekeluargaan adalah
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai hubungan antar pribadi alamiah
yang berlainan jenis dalam suatu ikatan kekeluargaan.
e.
Djaja S. Meliala
Hukum keluarga adalah keseluruhan
ketentuan yang mengatur hubungan hukum antara keluarga sedarah dan keluarga
kerena terjadinya perkawinan
f.
Sudarsono
Hukum kekeluargaan adalah
keseluruhan ketentuan yang menyangkut hubungan hukum mengenai kekeluargaan
sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan.
Ada dua pokok kajian dalam
definisi hukum keluarga yang dikemukakan oleh Ali Affiandi, yaitu mengatur
hubungan hukum yang berkaitan:
Keluarga sedarah dan Perkawinan
Pertalian keluarga karena turunan
disebut keluarga sedarah,artinya sanak saudara yang senenek moyang. Keluarga
sedarah ini ada yang ditarik menurut garis bapak yang disebut matrinial dan ada
yang ditarik menurut garis ibu dan bapak yang disebut parental atau bilateral.
Pertalian keluarga karena
perkawinan disebut keluarga semenda, artinya sanak saudara yang terjadi karena
adanya ikatan perkawinan, yang terdiri dari sanak saudara suami dan sanak
saudara istri. Sedangkan pertalian keluarga karena adat disebut keluarga adat,
artinya yang terjadi karena adanya ikatan adat, misalnya saudara angkat.
B. Prinsip-Prinsip Atau Asas-Asas Perkawinan
Menurut Undang-Undang Perkawinan,
Disebtkan Di Dalam Penjelasan Umumnya Sebagai Berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling
membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan pribadinya,
membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
b. Dalam Undang-Udang ini
dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut perturan perundang-undangan yang belaku,
pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran,
kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang
juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut
asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum
dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri
lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari
seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan
hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh Pengadilan Agama.
d. Undang-Udang ini mengatur
prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara
baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan
sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang
masih dibawah umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus
dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur.
Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin,
mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas
umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan
ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah
19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
e. Karena tujuan perkawinan
adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka
Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian.
Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan
Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan
Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.
f. Hak dan kedudukan istri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga
maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu
dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.
Kalau kita bandingkan
prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Udang
Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil
atau mendasar.[4]
C. Prinsip-prinsip hukum perkawinan dalam alquran dan hadis
Prinsip-prinsip hukum perkawinan
yang bersumber dari alquran dan alhadist, yang kemudian di tuangkan dalam
garis-garis hukum melalui undang-undanhg no 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan
kompilasi hukum islam tahun 1991 mengandung 7 asas kaidah hukum yaitu sebagai
berikut:
1. Asas
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
2. Asas
keaabsahan perkawinan di dasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak
yang melaksanakan perkawinan dan harus di catat oleh petugas yang berwenang
3. Asas
monogami terbuka
4. Asas calon
suami dan isteri telah matang jiwa raganya dapat mel;angsungkan perkawinan,
agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang baik
dan sehat sehingga tidak berfikifr kepada perceraian
5. Asas
mempersulit terjadinya perceraian
6. Asas
keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan isteri baik dalam kehidupan
rumah tangga dan kehidupan masyrakat
7. Asas
pencatatan perkawinan.[5]
D. Prinsip-prinsip hukum keluarga dalam Maqasid Asy-Syariah
Prinsip-prinsip dan penerapan
Maqasid Asy-Syariah dalam Hukum Keluarga Islam
Maqasid Asy-Syariah pada umumnya
terdiri dari lima tujuan, yakni:[6]
1. Memelihara
Agama (Hifz ad-Din)
Tujuan untuk memelihara agama,
dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni: pertama, tingkatan daruriyah.
Pada tingkatan ini, memelihara agama dalam artian melaksanakan kewajiban
keagamaan, menjadi sesuatu yang primer (harus dilakukan oleh manusia). Manusia
yang tidak memenuhi hal primer, mengakibatkan keagamaannya terancam. Contoh
dalam tingkatan ini, seperti aturan dalam undang-undang di Indonesia, bahwa
perkawinan harus dilaksanakan dengan hukum masing-masing agama dan
kepercayaan.[7] Hal ini dalam rangka untuk memelihara agama masing-masing
pihak. Ketika pasangan berbeda agama, dihawatirkan salah satu dari pasangan
tersebut akan berpindah agama sesuai dengan pihak yang lebih berkuasa dalam
pasangan. Hal ini jelas akan merusak agama asli pihak yang bersangkutan.
Kedua, tingkatan hajiyah.
Pada tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini
tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, akan tetapi
hanya akan mempersulit orang yang melakukannya. Contoh dalam tingkatan ini,
seperti perkawinan dengan orang yang memiliki agama yang sama, akan tetapi
orang tersebut memiliki orang tua yang beda agama. Hal ini memang secara tidak
langsung merusak agama dari para pasangan, akan tetapi sedikit mempersulit
hubungan sebuah pasangan, karena orang tua memiliki peran yang cukup penting
pula terhadap pasangan, seperti untuk memberi nasehat-nasehat, berbagi keluh
kesah dan lain-lain.
Ketiga, tingkatan
tahsiniyyah.Pada tingkatan ini dimaksudkan untuk menjunjung tinggi martabat
manusia sekaligus menyempurnakan pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan. Ketika
hal ini tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak
pula akan mempersulit orang yang melakukannya. Contoh pada tingkatan ini,
seperti mengundang orang-orang yang berbeda agama pada sebuah pesta perkawinan.
2. Memelihara
Jiwa (Hifz an-Nafs)
Tujuan untuk memelihara jiwa,
dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni: pertama, tingkatan daruriyah.
Pada tingkatan ini, meliputi sesuatu yang primer (harus dilakukan oleh
manusia). Manusia yang tidak memenuhi hal primer ini, mengakibatkan eksistensi
jiwa manusia terancam. Contoh dalam tingkatan ini, seperti dilarangnya
melakukan aborsi bagi para ibu, sekalipun anak di dalam kandungannya merupakan
anak di luar nikah.
Kedua, tingkatan hajiyah. Pada
tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini
tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, akan
tetapi hanya akan mempersulit orang yang melakukannya. Contoh mengkonsumsi
makanan yang bergizi bagi para ibu hamil, untuk memenuhi gizi janin yang ada di
dalam kandungan.
Ketiga, tingkatan tahsiniyyah.Pada
tingkatan ini, ketika tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam eksistensi
jiwa dan tidak pula akan mempersulit kehidupan seseorang. Contoh pada tingkatan
ini, seperti memeriksakan kandungan untuk mengetahui jenis kelamin sang bayi.
3. Memelihara
Akal (Hifz al-‘Aql)
Tujuan untuk memelihara akal,
dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni: pertama, tingkatan daruriyah.
Pada tingkatan ini, meliputi sesuatu yang primer (harus dilakukan oleh
manusia). Manusia yang tidak memenuhi hal primer ini, mengakibatkan eksistensi
akal manusia terancam. Contoh dalam tingkatan ini, seperti anjuran untuk
mendidik anak pada usia dini dengan cara yang halus dan tidak mengandung unsur
bentakan yang berlebihan.
Kedua, tingkatan hajiyah.
Pada tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini
tidak dilaksanakan maka tidak akan merusak akal manusia, akan tetapi hanya akan
mempersulit orang yang bersangkutan. Contoh dalam tingkatan ini, seperti
anjuran menuntut ilmu, terutama pada usia muda.
Ketiga, tingkatan
tahsiniyyah.Pada tingkatan ini, ketika tidak terpenuhi, maka tidak akan
mengancam eksistensi akal secara langsung. Contoh pada tingkatan ini, seperti
menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berguna.
4. Memelihara
Keturunan (Hifz an-Nasl)
Tujuan untuk memelihara
keturunan, dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni: pertama, tingkatan
daruriyah. Pada tingkatan ini, meliputi sesuatu yang primer (harus dilakukan
oleh manusia). Manusia yang tidak memenuhi hal primer ini, mengakibatkan
eksistensi keturunan manusia akan terancam. Contoh dalam tingkatan ini,
kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anak dengan
sebaik-baiknya.[8] Hal ini tetap saja terjadi, meskipun antara suami dan isteri
telah bercerai.
Kedua, tingkatan hajiyah.
Pada tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini
tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan manusia, akan
tetapi hanya akan mempersulit orang yang melakukannya. Contoh dalam tingkatan
ini, seperti memenuhi segala kebutuhan anak yang diasuh oleh orang tua.
Ketiga, tingkatan
tahsiniyyah.Pada tingkatan ini, ketika tidak terpenuhi, maka tidak akan
mengancam eksistensi keturunan dan tidak pula akan mempersulit orang yang
bersangkutan, hal ini hanya berkaitan dengan etika dan martabat manusia. Contoh
pada tingkatan ini, seperti disyari’atkannya khitbah dalam perkawinan.
5. Memelihara
Harta (Hifz al-Mal)
Tujuan untuk memelihara harta,
dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni: pertama, tingkatan daruriyah.
Pada tingkatan ini, meliputi sesuatu yang primer (harus dilakukan oleh
manusia). Manusia yang tidak memenuhi hal primer ini, mengakibatkan eksistensi
harta manusia terancam. Contoh dalam tingkatan ini, seperti pensyari’atan
aturan kepemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara
yang tidak benar. Hal ini dapat berupa aturan mengenai waris dan pembagian
harta bersama, baik dalam Kompilasi hukum Islam maupun UU Perkawinan No 1 Tahun
1974.[9]
Kedua, tingkatan hajiyah. Pada
tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini
tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi harta manusia, akan
tetapi hanya akan mempersulit orang yang melakukannya. Contoh dalam tingkatan
ini, seperti pembagian harta peninggalan dengan tanpa dibimbing seseorang yang
ahli dalam membagi, seperti pihak pengadilan, ulama dll.
Ketiga, tingkatan
tahsiniyyah.Pada tingkatan ini, ketika tidak terpenuhi, maka tidak akan
mengancam eksistensi harta dan tidak pula akan mempersulit kehidupan seseorang.
Contoh pada tingkatan ini, seperti anjuran untuk menghindarkan diri dari
penipuan dalam pembagian harta keluarga.
Seiring berjalannya waktu,
Maqasid Asy-Syariah tidak hanya terdiri lima tujuan seperti yang telah
dijelaskan di atas. Ada pendapat yang menambahkan satu tujuan yang lain di
samping yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni: memelihara kehormatan. Menjaga
kehormatan dapat meliputi kehormatan diri sendiri, anak, dan juga keluarga.
Tujuan untuk memelihara
kehormatan, dapat dikatagorikan dalam tiga tingkatan, yakni: pertama, tingkatan
daruriyah. Pada tingkatan ini, meliputi sesuatu yang primer (harus dilakukan
oleh manusia). Manusia yang tidak memenuhi hal primer ini, mengakibatkan
eksistensi kehormatannya terancam. Contoh dalam tingkatan ini, seperti
pensyari’atan perkawinan bagi orang yang memang sudah mampu secara lahir maupun
batin untuk melakukan perkawinan.
Kedua, tingkatan hajiyah. Pada
tingkatan ini, dimaksudkan untuk menghindari kesulitan, jika ketentuan ini
tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi kehormatan manusia,
akan tetapi hanya akan mempersulit orang yang melakukannya. Contoh dalam
tingkatan ini, seperti anjuran berpuasa bagi orang yang sudah ingin melakukan
perkawinan, akan tetapi belum memiliki bekal yang cukup untuk melakukan
perkawinan.
Ketiga, tingkatan
tahsiniyyah.Pada tingkatan ini, ketika tidak terpenuhi, maka tidak akan
mengancam eksistensi kehormatan dan tidak pula akan mempersulit kehidupan
seseorang. Contoh pada tingkatan ini, seperti pilihan untuk melakukan
perkawinan kembali bagi orang yang sudah pernah melakukan perkawinan (sebab
mati atau perceraian).
E. Prinsip-prinsip hukum muamalah
Dalam buku “FiqihMuamalah”, karya
DR. H. Nasron Haroen, MA dari Induksi para ulama terhadap al-Qur’an dan
As-Sunnah, ditemukan beberapa keistimewaan ajaran muamalah di dalam kedua
sumber hukum Islam, diantaranya :
1. Dalam
berabagi jenis muamalah, hukum dasarnya adalah boleh (Mubah) sampai ditemukan
dalil yang melarangnya. Artinya selama tidak ada yang melarang kreasi jenis
muamalah, maka muamalah itu dibolehkan. Inilah isi rahmat Allah terbesar yang
diberikan Allah kepada umat manusia.[10]
2. Prinsip
lainnya adalah : Kejujuran, kemaslahatan umat, menjunjung tinggi
prinsip-prinsip, saling tolong menolong, tidak mempersulit, dan suka sama suka.
3. Prinsip
dasar dalam persoalan muamalah adalah “untuk mewujudkan kemaslahatan umat
manusia”, mereduksi permusuhan dan perselisihan di antara manusia dengan
memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi yang mengitari
manusia itu sendiri. Dari prinsip pertama ini, terlihat perbedaan
persoalan muamalah dengan persoalan akidah, akhlak, dan ibadah. Allah tidak
menurunkan syariah, kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan
hidup hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban dan menyempitkan ruang gerak
kehidupan manusia.
4. Dan dalam
buku lain mengatakan bahwa Prinsip-prinsip Fiqih Muamalah adalah “Halal”,
maksudnya disini adalah benda yang akan di transaksikan itu harus bersih dan
halal. Yang mana terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 88 :
Artinya : “Makanlah bagimu apa
yang direzkikan Allah Halal dan Baik. Maka bertaqwa yang kamu beriman
kepadanya”.
5. Azas
Manfaat : Maksudnya adalah benda yang akan ditarnsaksikan itu adalah benda yang
bermanfaat, baik manfaat yang dapat diarasakan secara langsung maupun manfaat
yang tidak langsung, contohnya (buah-buahan atau bibit tanaman secara tidak
langsungnya).
6. Azaz
Kerelaaan : dalam muamalah dimana saat bertransakisi harus adanya rasa saling
suka sama suka, supaya nantinya tidak ada rasa kekcewaan satu sama lainnya.[11]
7. Asas
Kebjikan (Kebaikan) : maksudnya adalah setiap hubungan perdata sebagiannya
mendatangkan kebajikan (kebaikan) kepada kedua belah pihak dan pihak ketiga
dalam masyarakat. Kebajikan yang diperoleh seseorang haruslah didasarkan pada
kesadaran pengembangan kebaikan dalam rangka kekeluargaan.
8. Asas
Mendahulukan kewajiban dari hak : bahwa dalam pelaksanannya hubungan perdata
para pihak harus mengutamakan penuaian kewajiban terlebih dahulu daripada
menurut hak.
9. Asas Adil
dan berimbang.
10. Asas kemasaslahatan
hidup.
11. Asas larangan merugikan
diri sendiri dan orang lain : maksdunya adalah bahwasanya para pihak yang
mengadakan hubungan perdata tidak boleh merugikan didri sendir dan orang lain
dalam hubungan bertransaksi.[12]
KESIMPULAN
Hukum keluarga Islam yang telah
diolah menjadi Undang-Undang di Indonesia, dapat dikatakan telah memenuhi
maqasid asy-Syariah, meskipun belum secara maksimal yang merupakan
prinsip-prinsip hukum keluarga.
Fungsi hukum pada umunya memiliki
kemiripan dengan Maqashid asy-Syari’ah, yakni untuk mewujudkan ketertiban
sosial dan menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Prinsip-prinsip muamalah dalam
Islam sangatlah memenuhi syarat untuk bisa dipertanggungjawabkan dunia dan
akhirat, diantara Prinsip-prinsip tersebut adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan umat manusia, Menjunjung tinggi nilai kejujuran, keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh
Muamalah, cetakan pertama (Amzah: Jakarta, 2010)
Hasbi Umar, Nalar Fiqh
Kontemporer (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007)
Hilman Hadi Kusuma, Bahasa Hukum
Indonesia, Cet. III, (PT Alumni, Bandung, 2005)
http://titikbalik.wordpress.com/2007/07/17/prinsip-prinsip-dasar-perkawinan/
Nasrun Haroen, FiqihMuamalah, (
Karya Media Pratama : Jakarta, 2000)
Rozalinda, Fiqh Muamalah,cetakan
pertama (Hayfa Press: Padang, 2005)
Salim, Pengantar Hukum Perdata
Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika,2008)
Zainnudin, Hukum Perdata Islam
Indonesia, cetakan pertama, (Jakarta:Sinar Grafika,2006)
[1] Salim, Pengantar Hukum
Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika,2008), h. 17
[2] Hilman Hadi Kusuma, Bahasa
Hukum Indonesia, Cet. III, (PT Alumni, Bandung, 2005), h. 22
[3] Salim, Op. Cit. h. 19
[4] Diakses pada 8 Oktober 2016
dari
http://titikbalik.wordpress.com/2007/07/17/prinsip-prinsip-dasar-perkawinan/
[5] Zainnudin, Hukum Perdata
Islam Indonesia, cetakan pertama, (Jakarta:Sinar Grafika,2006), h. 7
[6] Hasbi Umar, Nalar Fiqh
Kontemporer (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 124-127.
[7] Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, Pasal 2 ayat 1.
[8] Undang-Undang No 1 tentang
Perkawinan Tahun 1974, Pasal 45.
[9] Kompilasi Hukum Islam, Pasal
96-97, BAB II, III, dan V, Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, Pasal
35-37.
[10] Nasrun Haroen,
FiqihMuamalah, ( Karya Media Pratama : Jakarta, 2000) h. xxi.
[11]Rozalinda, Fiqh
Muamalah,cetakan pertama (Hayfa Press: Padang, 2005), h. 4-7.
[12]Ahmad Wardi Muslich, Fiqh
Muamalah, cetakan pertama (Amzah: Jakarta, 2010), h. 5-11.
Hukuman dalam Islam
Masalah-Masalah Yang Ada Dalam
Patologi, Perjudian, Korupsi, Kriminalitas, Pelacuran
MAHAR Tafsir Ayat Ahkam Surat
An-Nisaa’ Ayat 4 Dan 19
perkembangan hukum Islam
pada masa Abu Bakar dan Umar Ibn Khattab
0 Response to "Hukum Keluarga, prinsip perkawinan, prinsip hukum keluarga dalam undang-undang, hukum keluarga pdf dasar hukum keluarga fungsi hukum keluarga hukum keluarga menurut uu no 1 tahun 1974 hukum orang dan hukum keluarga tinjauan pustaka hukum keluarga contoh kasus hukum keluarga struktur tertentu dalam sistem hukum keluarga"
Post a Comment