Kodifikasi Hadits jurnal kodifikasi hadits, kodifikasi hadits sejarah dan perkembangannya, jurnal sejarah kodifikasi hadits, jurnal kodifikasi hadits pdf, sejarah kodifikasi hadits ppt, sejarah penulisan dan kodifikasi hadits, tokoh-tokoh kodifikasi hadis, sejarah kodifikasi hadits mulai abad ke-2 sampai sekarang
Tuesday, March 24, 2020
Add Comment
Pengertian Kodifikasi Hadits, Sejarah Kodifikasi Hadits,
B. KODIFIKASI HADITS
1.Defenisi Kodifikasi Hadits
Kata Kodifikasi dalam bahasa arab dikenal dengan Al-Tadwin yang berarti Codification, yaitu, mengumpulkan dan menyususn. Secara istilah, kodifikasi adalah penulisan dan pembukaan hadits Nabi secara resmi berdasar perintah Khalifah dengan melibatkan beberapa personel yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi.Dengan kata lain, Tadwin al-Hadits (kodifikasi hadits) adalah penghimpunan, penulisan, dan pembukuan hadits Nabi atas perintah resmi dari penguasa Negara (Khalifah)bukan di lakukan atas inisiatif perseorangan atau untuk keperluan pribadi, Kodifikasi hadits dimaksudkan untuk menjaga hadits Nabi dari kepunahan dan kehilangan baikdikarenakan banyaknya periwayat penghafal hadits yang meninggal maupun karena adanya hadits-hadits palsu yang dapat mengacau balaukan keberadaan hadits-hadits nabi.
Kodifikasi hadis yang dimaksudkan di sini adalah penulisan, penghimpunan, dan pembukaan hadits-hadits Nabi yang dilakukan berdasar perintah resmi Khalifah Umar Ibn Abd Al-Aziz (99-101 H/ 717-720 M), khalifah kedelapan Bani Umayah, yang kemudian kebijakannya itu ditindaklanjuti oleh para ulama di berbagai daerah hingga padamasa-masa berikutnya hadits-hadits terbukukan dalam kitab-kitab hadits.
2. Sejarah Kodifikasi hadits
Ide penghimpun hadits Nabi secara tertulis pertama kali di kemukakan oleh Umar Ibn Al-Khathab (23 H/ 644 M). Untuk merealisasikan idenya itu, Umar bermusyawarah dengan para sahabat Nabi dan beristikharah. Para sahabat menyetujui idenya itu,tetapi setelah sekian lama istikharah, Umar sampai pada kesimpulan ia tidak akan melakukan penghimpunan dan kodifikasi hadits, karena khawatir umat islam akan berpaling dari Al-Qur’an.
Sebagian ulama berpendapat, sebagaimana dalam kitab Thabaqat Ibn Sa’Ad, Tahdzib dan Tadzkirah Al-Huffazh, bahwa pengumpulan hadits sudah di mulai pada masa Abd Al-‘aziz Ibn Marwan Ibn Hakam (706 M) yang saat itu menjabat sebagai gubernur di Mesir.Ia memerintahkan Katsir Ibn Murrah Al-Hadhrami (688 M) untuk mengumpulkan hadits Rasulullah. Hanya saja, menurut mayoritas ulama hadits, kodifikasi hadits secara resmi pertama kali dilakukan pada masa Umar Ibn Abd Al-Aziz ketika menjadi khalifah Bani Umayah (99-101 H), anak dari Abd Al-aziz Ibn Marwan Ibn Hakam. Menurut mereka, apa yang terjadi pada masa abd Al-Aziz Ibn Marwan lebih bersifat gagasan, atau kalaupun sudah terjadi kodifikasi lingkupnya lebih sempit karena hanya dalam batas wilayah provinsi Mesir saja tidak keseluruhan wilayah Islam sebagaimana masa Umar Ibn Abd Al-Aziz.
Dengan demikian, kodifikasi hadits secara resmi terjadi pada masa khalifah Umar Ibn Abd Al-Aziz, salah seorang khalifahBani Umayah. Proses kodifikasi hadits yang baru dilakukan pada masa ini dimulai dengan khlifah mengirim surat ke seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah pada akhir tahun 100 H yang berisi perintah agar seluruh hadits Nabi di masing-masing daerah segera dihimpun, Umar yang di damping Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Al-Zuhri (124 H/ 742 M), seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam, menggalang para ulama hadits mengumpulkan hadits masing-masing daerah mereka. Al-Zuhri berhasil menghimpun haduts dalam satu kitab sebelum khlifah meninggal dunia yang kemudian di kirim oleh khalifah ke berbagai daerah, untuk bahan penghimpunan hadits selanjutnya. Umar juga memerintah Abu Bakar Muhammad Ibn Amr Ibn Hazam (117 H) untuk mengumpulkan hadits yang terdapat pada Amrah Binti Abd Al-Rahman (murid kepercayaan Aisyah) dan Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakar Al-Shiddiq.
3. Kodifikasi hadits Abad II hijriah
Pada Abad kedua, para ulama dalam aktivitas kodifikasi hadis, tidak melakukan penyaringan dan pemisahan, mereka tidak membukukan hadits-hadits saja, tetapi fatwa sahabat dan tabi’in juga di masukkan ke dalam kitab-ktab mereka. Dengan kata lain, seleksi hadits pada abad kedua ini di samping memasukkan hadits-hadits Nabi juga perkataan para sahabat dan para tabi’in juga dibukukan, sehingga dalam kitab-kitab itu terdapat hadits-hadits marfu’, hadits-hadits mawquf, dan hadits-hadits maqhtu’.Pada abad kedua ini ulama yang berhasil menyusun kitab Tadwin dan sampai pada kita adalah Malik Ibn Anas (93-179 H) yang menyusun kitab Al-Muwathath. Kitab ini disusun sejak tahun 143 H. Pada masa khalifah Al-Manshur, salah seorang khalifah Bani Abbasiyah. Kitab ini tidak hanya memuat hadits Rasul saja, tetapi juga ucapan sahabat dan tabi’in bahkan tidak sedikit yang berupa pendapat Malik sendiri atau praktik ulama dan masyarakat Madinah. Imam Al-Syafi’i, muridnya memberikan pujian terhadap karya Imam Malik ini dengan sebutan: kitab paling sahih setelah Al-Qur’an adalah Muwaththa Malik.
Setelah itu, muncul para ulama sesudahnya seperti Al-Awza’i (150 H) yang menyusun kitab Al-Mushannaf, Muhammad Ibn Ishaq (151 H) yang menyusun kitab Al-Maghazi wa Al-Siyar,Syu’bah Ibn Al-Hajjaj (160 H) yang menyusun kitab Al-Mushannaf, Al-Laits Ibn Sa’ad (175 H) yang juga menyusun kitab Al-Mushannaf, Sufyan Ibn Uyaynah (198 H) dengan kitabnya Al-Mushannaf, dan Al-Humaydi (219 H) juga menyusun kitab Al-Mushannaf. Pada abad ini juga disusun kitab Musnad karya Zayd Ibn Ali dan Imam Al-Syafi’i (204 H). Al-Syafi’I juga menyusun kitab Mukhtalif Al-Hadits.
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, di antara kitab-kitab abad kedua ini yang mendapat perhatian umum ulama adalah Al-Muwaththa karya Imam Malik, Al-Musnad, Mukhtalif Al-Hadits susunan Imam Al-Syafi’i, dan Al-Maghazi wa Al-Siyar yang terkenal dengan Al-Sirah Al-nabawiyyah karya Muhammad Ibn Ishaq. Kitab-kitab tersebut banyak menjadi perhatian dan rujukan dalam kajian-kajian hadis dan sirah. Meskipun pada abad kedua hadits tidak dipisahkan dari fatwa sahabat dan pendapat tabi’in, pada abad ini sudah ada pemisahan antara hadits-hadits umum dengan hadits-hadits tafsir, sirah, dan maghazi.
Abad kedua ini juga diwarnai dengan meluasnya pemalsuan hadits yang telah ada semenjak masa khalifah Ali Ibn Abi Thalib (41 H) dan menyebabkan sebagian ulama pada abad ini tergugah untuk mempelajari keadaan para periwayat hadits, di samping pada waktu itu memang banyak periwayat yang lemah, meskipun tidak berarti pada abad pertama tidak ada perhatian sama sekali terhadap keberadaan pada periwayat hadis. Pada abad kedua, kegiatan telaah terhadap Ahwal Al-Ruwah (keberadaan para periwayat hadits) semakin di identifikasikan, meskipun saat itu belum terbentuk ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil dalam bentuk disiplin ilmu yang mandiri.
4.Kodifikasi Hadits Abad III Hijriah
Berbeda dengan abad sebelumnya, abad ketiga Hijriah ini merupakan masa penyaringan dan pemisahan antara sabda Rasulullah dan fatwa sahabat dan tabi’in. Masa penyeleksian ini pada zaman Bani ‘Abbasiyyah, yakni masa Al-Ma’mun sampai Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H). Perioede penyeleksian ini terjadi karena pada masa Tadwin belum dipisahkan antara hadits Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’, hadits yang dha’if dari yang shahih ataupun hadits yang mawdhu’ masih tercampur dengan yang shahih. Pada saat ini pula mulai dibuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan apakanh suatu hadits itu shahih ataau dha’if. Para periwayat hadits pun tidak luput dari sasaran penelitian mereka untuk diteliti kejujuran, kekuatan hafalan, dan lain sebagainya. Materi kodifikasi yang dibukukan pada abad ini dipisahkan antara hadits Nabi, pendapat sahabat dan tabi’in, meskipun hadits-hadits yang dihimpun tidak diterangkan antara yang shahih, hasan, dan dha’if. Para ulama mengodifikasikan hadits-hadits dalam kitab-kitab mereka masih keadaan tercampur antara ketiga hadits tersebut. Mereka hanya menulis dan mengumpulkan hadits-hadits Nabi lengkap dengan sanadnya,yang kemudian kitab-kitab hadits hasil karya mereka disebut dengan istilah musnad.
Banyak kitab-kitab yang ditulis pada penghujung abad II dan awal abad III Hijriah, di antaranya kitab-kitab yang ditulis oleh Abu Dawud Sulayman Ibn Jarud Al-Thayalisi (204 H), Abu Bakar Abdullah Ibn Zubayr Al-Humaydi (219 H), As’ad Ibn Musa Al-Umawi (212 H), ‘Ubaydallah Ibn Musa Al-Abbasi (213 H), Musaddad Al-Bashri (228 H), Ahmad Ibn Hanbal (241 H/ 885 M), Ishaq Ibn Rawayh (161-238 H), dan Utsman Ibn Abi Syaybah (156-239 H). Di antara musanadmusnad itu, musna krya Ahmad Ibn Hanbal lah yang terlengkap dan yang paling luas cakupannya.
Meskipun dilakukan penyeleksian, hadits-hadits yang shahih saja. Aktivitas ini dimulai oleh Ishaq Ibn Rawayah yang berusaha memisahkan hadits-hadits yang shahih dengan yang tidak. Kemudian pekerjaan yang mulia ini disempurnakan oleh Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail Al-Bukhari (194-256 H/ 810-870 M) dengan menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Jami’ Al-Shahih atau kitab shahih Al-Bukhari. Kemudian usaha Al-Bukhari ini diikuti oleh muridnya Muslim Ibn Al-Hajjaj Al-Qusyayri (204-261 H/ 817-875 M) dengan kitabnya Shahih Muslim. Pada saat yang hampir bersamaan, Abu Dawud Sulayman Ibn Al-asy’ats Al-Sijistani (202-275 H/ 819-888 M) menyusun kitab sunan Abi Dawud. Dilanjutkan oleh Abu Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Surah Al-Turmudzi (824-892 M) dengan karnya Sunan Al-Turmudzi, Ahmad Ibn syua’aib Al-Khuraisani Al-Nasa’i (215-303 H/ 830-915 M). Dengan kitabnya Sunan Al-Nasa’i, kemudian Abdullah Ibn Muhammad Ibn Yazid Ibn Ibn Abdullah Al-Qazwini yang dekal dengan ibn Majah (207-271 H/ 824-887 M). Dengan hasil karya Sunan Ibn Majah. Keenam kitab diatas oleh ulama hadits di sebut dengan Al-Kutub Asittah, meskipun sebagian ulama ada yang ditak memasukkan Sunan Ibn Majah kedalam kelompok kitab keenam tersebut karena derajat kitab susan ini dinilai lebih rendah dari hadts-hadits kitab yang lima. Menurut mereka, kitab pokok yang nomor enam adalah Al-Muwaththa’ karya Imam Malik. Dari sekian banyak kitab diatas yang menempati peringkat utama dan pertama adalah Shahih Al- Bukhari kemudian Shahih Muslim.
5. Kodifikasi Hadits Abad IV-VII Hijriah
Kalau abad pertama, kedua, dan ketiga, hadits berturut-turut mengalami masa periwayatannya, penulisan, pembukaan, serta penyaringan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, yang sistem pengumpulan haditsnya di dasarkan pada usaha pencarian sendiri untuk menemui sumber secara langsung kemudian menelitinya, maka abad keempat dan seterusnya digunakan metode yang berlainan. Demikian pula, ulama yang terlihat sebelum abad keempat disebut ulama Mutaqaddimun dan ulama yang terlibat dalam kodifikasi hadits pada abad keempat dan seterusnya disebut ulama Mutaakhirun.
Hadits-hadits yang dikumpulkan oleh ulama hadits pada abad keempat dan seterusnya kebanyakan dikutip atau dinukil dari kitab-kitab karya Mutaqaddimun, sedikit sekali hadits yang mengumpulkan hadits dari usaha mencari sendiri kepada para penghafalnya. Dengan kata lain, kebanyakan mereka meriwayatkan hadits dengan berpegang pada kita-kitab yang sudah ada. Periwayatan hadits langsung dari para periwayat sebagaimana dari abad pertama sampai ketiga hijriahjarang dilakukan ulama hadits, disamping karena hampir semua hadits sudah ditulis dalam beberapa kitab yang suda ada juga tradisi periwayatan mulai berkurang.
Pembukaan hadits pada peroide ini lebih mengarah pada usaha mengembangkan variasi pentadwin terhadap kitab-kitab hadits yang sudah ada. Maka, setelah beberapa tahun dari kemunculan Al-khutub AL-Asittah, Al-Muwaththa Imam malik Ibn Anas, dan Al-Musnad Ahmad Ibn Hanbal, para ulama mengalihkan untuk menyusun kitab-kitab yang berbentuk Jawami’, takhrij, athraf, syarah, dan mukhtashar, dan menyusun hadits untuk topik-topik tertentu.
Dengan demikian, usaha-usaha ulama hadits pada abad-abad ini meliputi beberapa hal berikut:
1) Mengumpulkan hadits-hadits Al-Bukhari Al-Muslim dalam sebuah kitab sebagaimana ilakukan oleh Ismail ibn Ahmad yang kenal dengan sebutan Ibn Al-Furrat (414 H) dan Muhammad ibn ‘Abdullah al-Jawaqa dengan kitabnya al-Jami’ bayn al-Shahihhayn.
2) Mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab yang enam dalam sebuah kitab, sebagaimana dilakukan oleh ‘Abd al-Haqq ibn ‘Abd al-Rahman al-Syibli yang dikenal dengan Ibn al-Khurrath dengan kitabnya al-Jami’.
3) Mengumpulkan hadits-hadits dari berbagai kitab kedalam satu kitab, sebagaimana dilakukan oleh al-Imam Husayn ibn Mas’ud al-Baghawi (516 H) dengan kitabnya Mashahib al-Sunnah yang kemudian diseleksi oleh al-Khath ibn al-Thabrizi dengan kitabnya Misykah al-Mashabih.
4) Mengumpulkan hadits-hadits hukum dalam satu kitab hadis, sebagaiman dilakukan oleh Ibn Taimiyah dengan kitabnya Muntaqa al-Akhbar yang kemudian disyarah oleh al-Syawkani dengan kitabnya Nayl al-Awthar.
5) Menyusun pokok-pokok (pangkal-pangkal0 hadits yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim sebagai petunjuk kepada materi hadits secara keseluruhan, seperti Ibrahim al-Dimasyqi (400 H) yang menyusun kitab Atharf Al-Shahihayn, hadits-hadits yang terdapat dalam kitab enam sebagaimana dilakukan oleh Muhammad ibn Thahir al-Maqdisi (w. 507 H) dengan kitabnya Athraf al-Kutub al-Sittah, dan hadits-hadits dalam kitab sunan yang empat seperti dilakukan Ibn ‘Asakir al-Dimasyqi (w. 571 H) dengan karyanya Athraf al-Sunan al-Arba’ah yang diberi judul al-Isyraf al-Athraf.
6) Men-takhrij dari kitab-kitab hadits tertentu, kemudian meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain sanad yang sudah ada dalam kitab-kitab tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Hafizh Abu ‘Awanah (w. 316 H) dengan kitabnya Mustakhraj Shahih Muslim dan oleh al-Hafizh ibn Mardawayh (w. 416 H) dengan kitabnya Mustakhraj Shahih al-Bukhari.
6. Kodifikasi Hadits Abad Ketujuh Hijriah Sampai Sekarang
Kodifikasi hadits yang dilakukan pada abad ketujuh dilakukan dengan cara menertibkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya, dan menyusun kitab-kitab takhrij, membuat kitab-kitab jami’ yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits hukum, men-takhrij hadits-hadits yang terdapat dalam beberapa kitab, men-takhrij hadits-hadits yang terkenal di masyarakat, menyusun kitab athraf, mengumpulkan hadits-hadits disertai dengan menerangkan derajatnya, mengumpulkan hadits-hadits dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, men-tashih sejumlah hadits yang belum di-tashih oleh ulama sebelumnya, mengumpulkan hadits-hadits tertentu sesuai topic, dan mengumpulkan hadits dalam jumlah tertentu.
Periode ini memang tidak jauh berbeda dengan abad sebelumnya ketika muncul kitab-kitab hadits yang model penyusunannya hampir sama seperti penyusunan kitab-kitab jami’, kitab-kitab takhrij, athraf, kecuali penulisan dan pembukuan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam kitab hadits sebelumnya dalam sebuah kitab yang dikenal dengan istilah kitab zawaid.
ANALISIS PENULIS
Sejarah perkembangan hadits, para ulama membagi menjadi tujuh periode. Yang mana pada masa Rasulullah saw merupakan pembentukan wahyu dan hukum. Pada masa khulafaur rasyidin adalah masa pembatasan riwayat. Pada masa tabi’in dan sahabat-sahabat muda merupakan masa pencarian hadits. Pada periode ke-4 merupakan masa penulisan dan pembukuan hadits. Memasuki periode ke-5, adalah masa puncaknya usaha pembukuan hadits. Dimana untuk masa sebelumnya, ulama-ulama hanya keluar kota yang terdekat saja dalam mengumpulkan hadits, akan tetapi pada masa ini mereka pergi ke seluruh penjuru daerah. Pada periode ke-6, merupakan usaha pengklasifikasi hadits dalam beberapa kitab. Dan pada period eke-7 adalah waktu menertibkan kitab-kitab hadits.
Kodifikasi hadits adalah usaha untuk mengumpulkan dan pembukuan hadits secara resmi (dengan interuksi resmi) dari kepala pemerintah (kepala Negara), yaitu Umar bin Abdul al-aziz dengan memerintahkan kepada para ulama hadits, untuk mengumpulkan hadits di masing-masing daerah mereka dan melibatkan beberapa para sahabat yang ahli di bidangnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Idri, M.ag, Studi Hadis. Jakarta, PRENADA MEDIA GROUP, 2010.
Drs. Fatchul Rahman. Ikhtisar Mushthalahul Hadis. Bandung, Pt ALMA ‘ARIF. 1947.
Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung; Mimbar Pustaka. 2005,
M.Hasbi Ash-Shidieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.1987.
Barmawie Umarie. Status Hadits sebagai Dasar Tasjri. Solo: AB. Siti Sjamsjah. 1965
[1] Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung; Mimbar Pustaka. 2005, hlm. 29.
[2] Ibid. hlm. 30
[3] M.Hasbi Ash-Shidieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.1987. hlm. 46
[4] Barmawie Umarie. Status Hadits sebagai Dasar Tasjri. Solo: AB. Siti Sjamsjah. 1965
[5] Soetari. Op.cit.mhlm. 41-46. Lihat juga Ash-Shidieqy. Op. Cit. 59-69. Barmawie Umarie. Op. Cit. hlm. 17-18.
[6] Ash-Shidieqy. Op. cit. hlm. 62
[7] Ibid. hlm. 63.
[8] Ibid. hlm. 45-54. Lihat juga Ash-Shidieqy. Op. Cit.hlm. 69-78.
[9] Ibid. hlm. 78-88
[10] Soetari. Op.ct.hlm.54
[11] Ketujuh Fuqaha Madinah adalah Al-Qasim, ‘Urwah Ibn Zubair, Abu Bakr Ibn Abdir Rahman, Sa’id Ibn Musayyab, Abdillah Ibn Abdullah Ibn ‘Utbah Ibn Mas’ud, Kharijah Ibn Zaid Ibn Tsabit, dan Sulaiman Ibn Yassar. Lihat Ash-Shidieqy. Op.cit. hlm. 79.
[12] Az-Zuhri menerima hadits dari Ibnu ‘Umar, Sahel ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud Ibn al-Rabi’, Said Ibn Musaiyab, dan Abu Umamah ibn Sahel.
[13] Ibid. hlm. 8
[14] Ibid. hlm. 83
[15] Ibid. hlm. 88
[16] Ibid. hlm. 89-104
[17] Ibid. hlm. 101-102
[18] Ibid. hlm. 103
[19] Ash-Shidieqy. Op.cit. hlm. 115-116
0 Response to "Kodifikasi Hadits jurnal kodifikasi hadits, kodifikasi hadits sejarah dan perkembangannya, jurnal sejarah kodifikasi hadits, jurnal kodifikasi hadits pdf, sejarah kodifikasi hadits ppt, sejarah penulisan dan kodifikasi hadits, tokoh-tokoh kodifikasi hadis, sejarah kodifikasi hadits mulai abad ke-2 sampai sekarang"
Post a Comment