Maqam Zuhud, Taubat dan Faqir, maqam zuhud makalah wara makalah zuhud dan wara perbedaan zuhud wara dan fakir dari sudut harta pengertian zuhud dan wira i menurut para ahli makalah faqr
Monday, August 6, 2018
Add Comment
MAQAM TAUBAT, ZUHUD dan FAQR
A. Maqam Taubat.
At-Taubah berasal dari bahasa arab : taba – yatubu – taubatan yang artinya kembali. Maqamat pada umumnya diawali dengan taubat ((التوبة.[1] Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh bahwa tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut,yang disertai dengan melakukan amal kebajikan.[2] Dalam perspektif tasawuf , taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah.[3]
Harun Nasution mengatakan taubat yang dimaksud sufi ialah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak akan membawa kepada doa lagi. Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja. Ada kisah mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat baru ia mencapai tingkat taubat yang sesungguhnya. Orang yang taubat adalah orang yang cinta kepada Allah dan orang yang demikian senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah.[4]
Allah SWT berfirman :
“Sesungguhya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”
Adapun orang yang hanya bertaubat dari dosa lahiriah saja maka tidak termasuk yang disinggung oleh ayat ini. Meskipun dia juga disebut Ta’ibun (orang yang bertaubat), tetapi belum menjadi tawwab (orang-orang yang bertaubat dengan sebenar-benarnya).
Perumpamaan orang yang taubat dari dosa lahiriah saja adalah seperti orang yang memotong rumput tapi hanya dibatangnya saja. Dia tidak mau berusaha mencabut dari akarnya. Maka pasti nantinya akan tumbuh kembali bahkan lebih berat dari sebelumnya. Berbeda dengan orang yang bertaubat dengan sungguh-sungguh dari dosa akhlak-akhlak buruk. Ia seperti orang yang mencabut rumput sampai ke akar-akarnya. Maka dapat dipastikan ia tidak akan tumbuh lagi. Maka tahapan awal yang harus dilewati oleh seorang filsuf adalah taubat. [5]
Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis yang mendorong setiap hamba untuk selalu bertobat terhadap kesalahan. Diantara firman Allah:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”[6]
Nabi SAW bersabda:
“Allah SWT berfirman: “Wahai Ibn Adam sesungguhnya sepanjang engkau memohon dan mengharap kepada-Ku, Aku ampuni engkau atas segala dosa yang ada dan aku tidak peduli (seberapapun), Wahai ibn Adam, andai saja dosamu sampai sepenuh langit kemudian engkau datang memohon ampun kepada-Ku, engkau akan aku ampuni, Wahai ibn Adam, sesungguhnya andai engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi kemudian bertemu dengan-Ku dengan tidak menyekutukan Aku pada suatu apapun, pasti Aku akan mendatangimu (pula) dengan ampunan sepenuh isi bumi.” (HR. Tarmidzi)
Taubat dibedakan menjadi dua, yaitu taubat dalam syariat biasa yaitu taubatnya orang awam dan maqam taubat yaitu taubatnya orang khawas. Dalam hal ini ulama sufi Dzu al-Nun al-Mishri mengatakan:[7]
“Taubatnya orang-orang awam adalah (sekedar) taubat dari dosa-dosa, sedang taubat orang khawas ialah taubat dari ghaflah (lalai mengingat Tuhan.”
Bagi golongan khawas atau orang yang telah sufi, yang dipandang dosa adalah ghoflah (lalai mengingat Tuhan). Ghoflah itulah dosa yang mematikan. Ghoflah adalah sumber munculnya segala doa. Dengan demikian taubat adalah merupakan pangkal tolak peralihan dari hidup lama (ghoflah) ke kehidupan baru secara sufi. Yakni hidup selalu ingat Tuhan sepanjang masa.
Kesempurnaan taubat menurut ajaran tasawuf adalah apabila telah tercapai maqam “attaubatu min taubatihii” yakni mentaubati terhadap kesadaran dirinya dan kesadaran akan taubatnya itu sendiri.[8] Sebagaimana pengarang kitab Manazilus saairiin mengatakan bahwasanya syarat-syarat taubat itu ada tiga yaitu menyesal, meninggalkan dosa dan meminta ampunan.[9]
Al-Ghazali mengklasifikasikan taubat pada tiga tingkatan :
a. Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada kebaikan karena takut kepada siksa Allah.
b. Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi.Dalam tasawuf, keadaan ini sering disebut “inabah”
c. Rasa penyesalan yang dilakukan semata – mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah, hal ini disebut ‘aubah’.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah mengatakan bahwa taubat yang murni itu mengandungi tiga unsur: Pertama : taubat yang meliputi atas keseluruhan jenis dosa, tidak ada satu dosa pun melainkan bertaubat karenanya; Kedua : membulatkan tekad dan bersungguh-sungguh dalam bertaubat, sehingga tiada keraguan dan menunda-nunda kesempatan untuk bertaubat; dan Ketiga : menyucikan jiwa dari segala kotoran dan hal-hal yang dapat mengurangi rasa keikhlasan, khauf kepada Allah s.w.t dan menginginkan karunia-Nya. [10]
Taubat dari segala kesalahan tidak membuat seorang manusia terhina di hadapan Tuhannya. Justru, akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Karena Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah yang artinya “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” Karena kedudukan taubat adalah derajat yang pertama, pertengahan juga sekaligus yang terakhir. Derajat tersebut tidak pernah ditinggalkan oleh seorang hamba yang melakukan suluk dan terus menyertai hingga ia mati.[11]
Aplikasi taubat dalam kehidupan sehari-hari :
1.Lebih berhati-hati dalam melakukan sesuatu disebabkan takut terjerumus lagi ke dalam dosa. Selain itu orang yang bertaubat akan lebih giat beramal karena merasa khawatir dosanya belum diampuni oleh Allah Swt.
2. Taubat itu dilakukan setiap kita melakukan dosa, akan tetapi tentunya dosa yang berbeda. Bahkan kita harus bertaubat kepada Allah setiap saat karena mungkin saja ada
3. Biasakan agar selalu berstighfar sehabis sholat lima waktu
4.Meminta maaf apabila punyai kesalahan kepada orang lain.
5.Taubat dilakukan dengan ikhlas, bukan karena makhluk atau untuk tujuan duniawi. Ibnu hajar berkata: “Taubat tidak sah kecuali dengan ikhlash”. Allah berfirman: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya” (QS. At Tahrim: 8 ).
6.Menyesali dosa yang telah dilakukan dahulu sehingga ia pun tidak ingin mengulanginya kembali. Sebagaimana dikatakan oleh Malik bin Dinar, “Menangisi dosa-dosa itu akan menghapuskan dosa-dosa sebagaimana angin mengeringkan daun yang basah.” (Jami’ul Ulum wal Hikam: 1424: 203) ‘Umar, ‘Ali dan Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa taubat adalah dengan menyesal.(1424: 206).
7.Tidak terus menerus dalam berbuat dosa saat ini. Maksudnya, apabila ia melakukan keharaman, maka ia segera tinggalkan dan apabila ia meninggal kan suatu yang wajib, maka ia kembali menunaikannya. Dan jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia segera menunaikannya atau meminta maaf.
8.Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di masa akan datang karena jika seseorang masih bertekad untuk mengulanginya maka itu pertanda bahwa ia tidak benci pada maksiat. Hal ini sebagaimana tafsiran sebagian ulama yang menafsirkan taubat adalah bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
9.Meminta maaf terhadap orang yang didzalimi atau dirugikan
ilmu makrifat, ilmu tasawuf, buku ilmu tasawuf pdf, buku tasawuf pdf, arti tasawuf, apa itu tasawuf, akhlak tasawuf, akhlak dan tasawuf, ahli tasawuf, jejak tapak
A. Maqam Taubat.
B. Maqam Zuhud
C. Maqam al-Faqir
A. Maqam Taubat.
At-Taubah berasal dari bahasa arab : taba – yatubu – taubatan yang artinya kembali. Maqamat pada umumnya diawali dengan taubat ((التوبة.[1] Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh bahwa tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut,yang disertai dengan melakukan amal kebajikan.[2] Dalam perspektif tasawuf , taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah.[3]
Harun Nasution mengatakan taubat yang dimaksud sufi ialah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak akan membawa kepada doa lagi. Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja. Ada kisah mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat baru ia mencapai tingkat taubat yang sesungguhnya. Orang yang taubat adalah orang yang cinta kepada Allah dan orang yang demikian senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah.[4]
Allah SWT berfirman :
إنّ الله يحب التوّبين و يحبّ المتطهرين (222)
“Sesungguhya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”
Adapun orang yang hanya bertaubat dari dosa lahiriah saja maka tidak termasuk yang disinggung oleh ayat ini. Meskipun dia juga disebut Ta’ibun (orang yang bertaubat), tetapi belum menjadi tawwab (orang-orang yang bertaubat dengan sebenar-benarnya).
Perumpamaan orang yang taubat dari dosa lahiriah saja adalah seperti orang yang memotong rumput tapi hanya dibatangnya saja. Dia tidak mau berusaha mencabut dari akarnya. Maka pasti nantinya akan tumbuh kembali bahkan lebih berat dari sebelumnya. Berbeda dengan orang yang bertaubat dengan sungguh-sungguh dari dosa akhlak-akhlak buruk. Ia seperti orang yang mencabut rumput sampai ke akar-akarnya. Maka dapat dipastikan ia tidak akan tumbuh lagi. Maka tahapan awal yang harus dilewati oleh seorang filsuf adalah taubat. [5]
Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis yang mendorong setiap hamba untuk selalu bertobat terhadap kesalahan. Diantara firman Allah:
فَتَلَقَّى ءَادَمُ مِنْ رَّبِّهِ كَلِمَٰتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ (37)
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”[6]
Nabi SAW bersabda:
قال الله تعالى ياابن ادم إنك ما دعوتنى ورجوتنى غفرت لك على ما كان منك ولا أبالى ياابن ادم لو بلغت ذنوبك عنان السماء ثم استغفرتنى غفرت لك ياابن ادم إنك لو أتيتنى بقراب الأرض خطايا ثم لقيتنى لا تشرك بى شيئا لاتيتك بقرابها مغفرة. (رواه الترمذى)
“Allah SWT berfirman: “Wahai Ibn Adam sesungguhnya sepanjang engkau memohon dan mengharap kepada-Ku, Aku ampuni engkau atas segala dosa yang ada dan aku tidak peduli (seberapapun), Wahai ibn Adam, andai saja dosamu sampai sepenuh langit kemudian engkau datang memohon ampun kepada-Ku, engkau akan aku ampuni, Wahai ibn Adam, sesungguhnya andai engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi kemudian bertemu dengan-Ku dengan tidak menyekutukan Aku pada suatu apapun, pasti Aku akan mendatangimu (pula) dengan ampunan sepenuh isi bumi.” (HR. Tarmidzi)
Taubat dibedakan menjadi dua, yaitu taubat dalam syariat biasa yaitu taubatnya orang awam dan maqam taubat yaitu taubatnya orang khawas. Dalam hal ini ulama sufi Dzu al-Nun al-Mishri mengatakan:[7]
توبة العوام من الذنوب وتوبة الخواص من الغفلة
“Taubatnya orang-orang awam adalah (sekedar) taubat dari dosa-dosa, sedang taubat orang khawas ialah taubat dari ghaflah (lalai mengingat Tuhan.”
Bagi golongan khawas atau orang yang telah sufi, yang dipandang dosa adalah ghoflah (lalai mengingat Tuhan). Ghoflah itulah dosa yang mematikan. Ghoflah adalah sumber munculnya segala doa. Dengan demikian taubat adalah merupakan pangkal tolak peralihan dari hidup lama (ghoflah) ke kehidupan baru secara sufi. Yakni hidup selalu ingat Tuhan sepanjang masa.
Kesempurnaan taubat menurut ajaran tasawuf adalah apabila telah tercapai maqam “attaubatu min taubatihii” yakni mentaubati terhadap kesadaran dirinya dan kesadaran akan taubatnya itu sendiri.[8] Sebagaimana pengarang kitab Manazilus saairiin mengatakan bahwasanya syarat-syarat taubat itu ada tiga yaitu menyesal, meninggalkan dosa dan meminta ampunan.[9]
Al-Ghazali mengklasifikasikan taubat pada tiga tingkatan :
a. Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada kebaikan karena takut kepada siksa Allah.
b. Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi.Dalam tasawuf, keadaan ini sering disebut “inabah”
c. Rasa penyesalan yang dilakukan semata – mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah, hal ini disebut ‘aubah’.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah mengatakan bahwa taubat yang murni itu mengandungi tiga unsur: Pertama : taubat yang meliputi atas keseluruhan jenis dosa, tidak ada satu dosa pun melainkan bertaubat karenanya; Kedua : membulatkan tekad dan bersungguh-sungguh dalam bertaubat, sehingga tiada keraguan dan menunda-nunda kesempatan untuk bertaubat; dan Ketiga : menyucikan jiwa dari segala kotoran dan hal-hal yang dapat mengurangi rasa keikhlasan, khauf kepada Allah s.w.t dan menginginkan karunia-Nya. [10]
Taubat dari segala kesalahan tidak membuat seorang manusia terhina di hadapan Tuhannya. Justru, akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Karena Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah yang artinya “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” Karena kedudukan taubat adalah derajat yang pertama, pertengahan juga sekaligus yang terakhir. Derajat tersebut tidak pernah ditinggalkan oleh seorang hamba yang melakukan suluk dan terus menyertai hingga ia mati.[11]
Aplikasi taubat dalam kehidupan sehari-hari :
1.Lebih berhati-hati dalam melakukan sesuatu disebabkan takut terjerumus lagi ke dalam dosa. Selain itu orang yang bertaubat akan lebih giat beramal karena merasa khawatir dosanya belum diampuni oleh Allah Swt.
2. Taubat itu dilakukan setiap kita melakukan dosa, akan tetapi tentunya dosa yang berbeda. Bahkan kita harus bertaubat kepada Allah setiap saat karena mungkin saja ada
3. Biasakan agar selalu berstighfar sehabis sholat lima waktu
4.Meminta maaf apabila punyai kesalahan kepada orang lain.
5.Taubat dilakukan dengan ikhlas, bukan karena makhluk atau untuk tujuan duniawi. Ibnu hajar berkata: “Taubat tidak sah kecuali dengan ikhlash”. Allah berfirman: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya” (QS. At Tahrim: 8 ).
6.Menyesali dosa yang telah dilakukan dahulu sehingga ia pun tidak ingin mengulanginya kembali. Sebagaimana dikatakan oleh Malik bin Dinar, “Menangisi dosa-dosa itu akan menghapuskan dosa-dosa sebagaimana angin mengeringkan daun yang basah.” (Jami’ul Ulum wal Hikam: 1424: 203) ‘Umar, ‘Ali dan Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa taubat adalah dengan menyesal.(1424: 206).
7.Tidak terus menerus dalam berbuat dosa saat ini. Maksudnya, apabila ia melakukan keharaman, maka ia segera tinggalkan dan apabila ia meninggal kan suatu yang wajib, maka ia kembali menunaikannya. Dan jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia segera menunaikannya atau meminta maaf.
8.Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di masa akan datang karena jika seseorang masih bertekad untuk mengulanginya maka itu pertanda bahwa ia tidak benci pada maksiat. Hal ini sebagaimana tafsiran sebagian ulama yang menafsirkan taubat adalah bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
9.Meminta maaf terhadap orang yang didzalimi atau dirugikan
ilmu makrifat, ilmu tasawuf, buku ilmu tasawuf pdf, buku tasawuf pdf, arti tasawuf, apa itu tasawuf, akhlak tasawuf, akhlak dan tasawuf, ahli tasawuf, jejak tapak
A. Maqam Taubat.
B. Maqam Zuhud
C. Maqam al-Faqir
0 Response to "Maqam Zuhud, Taubat dan Faqir, maqam zuhud makalah wara makalah zuhud dan wara perbedaan zuhud wara dan fakir dari sudut harta pengertian zuhud dan wira i menurut para ahli makalah faqr"
Post a Comment