بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله رب العالمين، اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد ، لا إله إلا أنت سبحانك إني كنت من الظالمين

Tujuan Hukum Di Pandang Dari Segi Tindak Pidananya, Asas Kemanfaatan Pada Hukum Pidana Islam

Tujuan Hukum Di Pandang Dari Segi Tindak Pidananya, Asas Kemanfaatan Pada Hukum Pidana Islam

D. Tujuan Hukum Di Pandang Dari Segi Tindak Pidananya

1.      Tujuan Hukum Tindak Pidana Pembunuhan


Syariat Islam diturunkan oleh Allah swt, untuk kemaslahatan hidup manusia, baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat. Nyawa seseorang adalah mahal, karena itu harus dijaga dan dilindungi. Ketentuan hukum qishas, mempunyai relevansi kuat dalam upaya melindungi manusia, sehingga para pelaku criminal timbul kejeraan, lantaran harus menanggung beban yang bakal menimpa dirinya jika ia melakukannya.[7]

Selain itu, dapat dipetik dari sanksi hukum pidana pembunuhan adalah pihak keluarga korban diberikan hak otonomi sepenuhnya untuk memilih hukuman yang bakal dikenakan terhadap pelakunya. Hal ini mempunyai relevansi kuat dengan pertimbangan psikologi keluarga. Betapa penderitaan pihak keluarga lantaran salah satu anggotanya meninggal, lebih-lebih karena dibunuh oleh seseorang. Pihak keluarga korban sedikit banyak mengetahui kepribadian anggota keluarganya. Apabila mereka mengetahui bahwa yang terbunuh adalah salah seorang anggota keluarga yang akhlaknya kurang baik dan/atau tidak terpuji maka mereka dapat memakluminya jika ia dibunuh oleh seseorang. Oleh karena itu, ia tidak akan dendam kepada pembunuhnya bahkan kemungkinan besar akan memaafkan pelaku dari pembunuhan dimaksud.[8]



2.      Tujuan Hukum Tindak Pidana Zina


Saksi terhadap para pelaku zina demikian berat, mengingat dampak negative yang ditimbulkan akibat perbuatan zina, baik terhadap diri, maupun keluarga,dan masyarakat. Di antara dampak negative lain sebagai berikut.

1)      Penyakit kelamin seperti virus HIV/AIDS, penyakit gonorchoo atau syphilis, merupakan jenis penyakit yang mencemaskan, penyakit tersebut berjangkit melalaui kelamin, di beberapa Negara, terutama Negara-negara yang menolerir, paling tidak memberika peluang kepada warganya melakukan perzinaan, termasuk Indonesia telah dirisaukan dengan isu mewabahnya penyakit kelamin yang membahayakan.

2)      Perbuatan zina menjadikan seseorang enggan melakukan pernikahan sehingga dampak negatif akibat keengganan seseorang untuk menikah cukup kompleks, baik terhadap kondisi mental maupun fisik seseorang.

3)      Keharmonisan hubungan keluarga sebagai suami istri, salah satunya adalah faktor pemenuhan kebutuhan seksual melalui perzinaan, kemesraan hubungan berkurang lantaran salah satu pihak yaitu suami atau istri, telah mengadakan hubungan dengan lawan jenisnya bukan suami/istrinya yang sah. Ketidakpuasan dalam pemenuhan kebutuhan seksual antara suami istri besar kemungkinan menimbulkan ketidakharmonisan hubungan dalam keluarga.[9]

3.      Tujuan Hukum Tindak Pidana Mencuri

Mengambil hak orang lain berarti merugikan sepihak. Ketentuan potong tangan bagi pencuri, menunjukkan bahwa pencuri yang dikenai sanksi hukum potong tangan adalah pencuri yang professional, bukan pencuri iseng, atau bukan karena keterpaksaan. Sanksi potong tangan atas hukuman bagi pencuri bertujuan antara lain sebagai berikut.

1)      Tindakan preventif yaitu menakut-nakuti, agar tidak terjadi pencurian, mengingat hukumannya yang berat.

2)      Membuat para pencuri timbul rasa jera, sehingga ia tidak melakukan untuk kali berikutnya.

3)      Menumbuhkan kesadaran kepada setiap orang agar menghargai dan menghormati hasil jerih payah orang lain.

4)      Menumbuhkan semangat produktivitas melalui persaingan sehat.

5)      Tidak berlaku hukum potong tangan terhadap pencuri yang melakukan tindak pidana pada musim paceklik, memberikan arahan agar para orang kaya melihat kondisi masyarakat, sehingga tidak hanya mementingkan diri sendiri. Dengan demikian kecemburuan sosial, yaitu penumpukan harta pada orang-orang tertentu dapat dihindari.[10]

E.     Asas Kemanfaatan Pada Hukum Pidana Islam


Agar tujuan dari hukuman dapat tercapai, Islam memiliki asas-asas yang mengaturmya.

1.    Legalitas Hukuman

Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas legalitas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya” dan dalam kitab pidana Belanda “Nullum dellictum nulla poena sine pravia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada hukuman yang tidak didahului hukum terlebih dahulu). Asas ini sejalan dengan Surah Al-Isra’ ayat 15:

مَّنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدي لِنَفْسِهِ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً -١٥-

“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul” (QS. Al-Isra’:15)

Ayat diatas relevan dengan asas legalitas sebab Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad untuk memberikan peringatan berupa aturan-aturan hukum, termasuk dalam bentuk ancaman hukuman. Oleh sebab itu, sanksi hukum bersifat legal sebab sebelum dijatuhkan telah ada ayat atau hadits yang mengatur tentang masalah terkait.[11]

Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya. Jadi, berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana  dan selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana.

Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan-kejahatan hudud. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum yang pasti. Prinsip trersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat dengan diletakkannya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai.

Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga dan masyarakat melalui kategorisasi kejahatan dan sanksinya.[12]

2.      Asas ini melarang berlakunya hukum pidana ke belakang, yaitu kepada perbuatan yang belum ada aturannya. Dengan kata lain, hukum pidana harus berjalan kedepan. Pelanggaran terhadap asas ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Asas ini pada kenyataannya merupakan konsekuensi dari asas legalitas. Syariat Islam sangat kaya dengan bukti yang menegaskan asas tidak berlaku surut. Diantaranya:

  


“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)” (QS. An-Nisa’: 22)

Dalam ayat diatas terdapat larangan menikahi wanita yang telah pernah dinikahi oleh ayah kandung, kecuali apa yang pernah terjadi pada masa lampau.

Hal ini menunjukkan bahwa asas tidak berlaku surut ada dalam hukum perdana Islam. Sanksi pidana terhadap pelaku zina, pencurian, meminum khamr, dan kejahatan-kejahatan lain yang ada dlam suatu ayat atau hadits tidak bisa diberlakukan sebelum ayat dan hadits terkait diturunkan atau disabdakan.[13]

Menurut Osman Abdul Malik As-Saleh, kebanyakan ahli hukum Islam berpendapat bahwa hanya ada satu pengecualian bagi berlakunya asas ini, yaitu jika yang baru memberikan sanksi yang lebih ringan dibanding hukum yang ada pada waktu perbuiatan dilakukan. Dalam kasus seperti ini, hukuman yang lebih ringanlah yang diterapkan.

Suatu pendapat yang berbeda diajukan oleh ahli hukum Mesir Abdul Qadir ‘Audah. Menurutnya, ada dua pengecualian dari asas yang tidak berlaku surut, yaitu:

a.       Bagi kejahatan-kejahatan berbahaya yang membahayakan kemanan dan ketertiban umum

b.      Dalam keadaan sangat diperlukan, untuk suatu kasus yang penerapan berlaku surutnya adalah bagi kepentingan masyarakat.[14]

3.    Kesamaan di Hadapan Hukum

Pada masa Jahiliyah, tidak ada kesamaan di antara manusia. Tidak ada kesamaan antara tuan dan budak, antara pemimpin dan rakyat biasa, antara si kaya dan si miskin, antara pria dan wanita. Dengan datangnya Islam, semua pembedaan atas dasar ras, warna, seks, bahasa, dan sebagainya dihapuskan.

Syariat memberi tekanan yang besar pada prinsip equality before the law. Rasulullah saw. bersabda: :”Wahai manusia! Kalian menyembah Tuhan yang sama, kalian mempunyai bapak yang sama. Bangsa Arab tidak lebih mulia dari bangsa Persia dan merah tidak lebih mulia dari hitam, kecuali dalam ketakwaan.”

Prinsip kesamaan tidak hanya terkandung dalam teori dan filosofi hukum Islam, tetapi dilaksanakan secara praktis oleh Rasulullah saw. dan para khalifah penerus beliau. Pernah terjadi di masa Rasulullah saw. seorang wanita dari satu suku yang kuat didakwa kasus pencurian. Beberapa anggota keluarga wanita itu pergi menjumpai Rasulullah saw. meminta pembebasan si wanita tadi dari hukuman yang ditentukan. Rasulullah saw. dengan tegas menolak permintaan itu dengan menyatakan: “Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, ikatan kekeluargaannya tidak dapat menyelamatkannya dari hukuman hadd.”

Syariat Islam juga tidak mengakui pengistimewaan kepada orang-orang tertentu. Abdul Qadir ‘Audah menyebut beberapa pembedaan (diskriminasi) yang dilakukan oleh sistem hukum pidana modern. Keistimewaan itu antara lain diberikan kepada para kepala negara asing, diplomat asing, anggota-anggota parlemen, orang-orang kaya dan anggota masyarakat terhormat. Apabila mereka melakukan suatu tindak pidana, maka perlakuan yang diterima akan berbeda dengan anggota masyarakat biasa. Sebliknya, syariat Islam menerapkan suatu equality before the law yang lengkap sejak empat belas abad yang lalu; sementara ia baru dikenal dalam hukum modern pada akhir abad delapan.[15]

Asas ini didasarkan atas firman Allah swt dan sabda Nabi saw. Dalamhukum pidana Islam tidak ada perbedaan antara pejabat dan rakyat, antara orang kaya dan orang miskin, serta antara kelompok satu dan kelompok yang lain. Adapun yang membedakan adalah ketakwaan seseorang dihadapn Tuhan. Perhatikan firman Allah berikut:

يَٰأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقنَٰكُم مِّن ذَكَر وَأُنثَىٰ وَجَعَلنَٰكُم شُعُوبا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُواْ إِنَّ أَكرَمَكُم عِندَ ٱللَّهِ أَتقَىٰكُم إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِير- ١٣

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)

Hukum pidana Islam memiliki asas kesamaan di depan hukum serta tidak mengenal kasta dan sikap diskriminatif. Sebaliknya, hukum pidana Islam menerapkan prinsip mulia equality before the law yaitu semua orang sama, sepadan dan sejajar didepan hukum.[16]

KESIMPULAN



Secara umum, syari’at memiliki tujuan melindungi hak perseorangan dan juga melindungi hak orang lain. Dalam hal ini, terdapat tiga klasifikasi terhadap tujuan hukum pidana Islam. Pertama, menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup yang merupakan tujuan pertama dan utama dari syari’at. Kebutuhan-kebutuhan hidup manusia dalam islam dirumuskan dalam maqashid syari’ah. Kedua, menjamin keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut hajiyat. Dan yang ketiga adalah membuiat perbaikan.


Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam ialah pencegahan (ar-rad’u waz-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-islah wat-tahzib). Pencegahan adalah menahan orang yang jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-menerus melakukan jarimah tersebut. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung  arti mencegah orang lain selain pelaku agar tidak ikut-ikutan melakukan jarimah Selain mencegah dan menakut-nakuti, syari’at Islam tidak lalai untuk memberikan perhatiannya terhadap diri pembuat. Bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri pembuat merupakan tujuan utama.

Dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan tersebut, dalam hukum Islam terdapat asas-asas yang mendukung, diantaranya: asas legalitas hukuman, hukuman tidak berlaku surut, dan persamaan hak di depan hakim.

DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah,
Jakarta: Sinar Grafika, 2004
Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2016
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani, 2003
Zainuddin, Hukum Pidana Islam, cetakan kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2009

[1] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 140-141
[2] Ibid, h. 141
[3] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2003), h 18-20
[4] A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 279
[5] Wardi Muslich, Opt Cit, h. 143
[6] A. Hanafi, Opt Cit, h. 279-281
[7] Zainuddin, Hukum Pidana Islam, cetakan kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 35
[8] Ibid, h. 36
[9] Ibid,h. 51-52
[10] Ibid, h. 67-68
[11] Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016),h. 15-16
[12] Santoso, Opt Cit, h. 10-12
[13] Nurul Irfan, Opt Cit, h. 16-17
[14] Santoso, Opt Cit, h. 12
[15] Ibid, h. 17-18
[16] Nurul Irfan, Hukum Pidana., 23-24.
Disusun oleh Sahabatku ADI HARMANTO JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYA FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

Related Post:




0 Response to "Tujuan Hukum Di Pandang Dari Segi Tindak Pidananya, Asas Kemanfaatan Pada Hukum Pidana Islam"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel