Pengaruh Qira’at dalam Mengistinbath Hukum, pengaruh perbedaan qira'at dalam penafsiran al-qur'an dan istinbath hukum
Saturday, September 8, 2018
Add Comment
Pengaruh Qira’at dalam Mengistinbath Hukum, Beberapa Contoh Perbedaan Hukum Akibat Perbedaan Qira’at
H. Pengaruh Qira’at dalam Mengistinbath Hukum
Meskipun qira’at bukan satu-satunya yang dijadikan dasar dalam istinbath (penetapan hukum), namun tak dapat dipungkiri bahwa perbedaan qira’at berpengaruh besar terhadap produk hukum. Inilah salah satu penyebab timbulnya berbagai mazhab atau aliran dalam Islam. Ditemukan empat mazhab besar dalam bidang fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) misalnya, dapat dijadikan bukti atas kebenaran tesis itu. Perbedaan serupa juga dijumpai dalam bidang Ilmu Kalam (Teologi Islam) seperti Sunni, Syi’ah, Mu’tazilah, dan lain-lain. [13]
Perbedaan antara satu qira’ah dengan qira’ah lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, i’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini sudah barang tentu membawa sedikit atau banyak perbedaan kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada hukum yang diistinbathkan daripadanya. Karena itu, Al-Zarkasy berkata:
أَنَّ بِاخْتِلَافِ القِرَاءَاتِ يَظْهَرُ الإِخْتِلَافُ فِى الأَحْكَامِ وَلِهَذَا بَنَى الفُقَهَاءُ نَقْضَ وُضُوْءِ المَلْمُوْسِ وَعَدَمَهُ عَلَى اخْتِلَافِ القِرَاءَاتِ فِى (لَمَسْتُمْ) و (لَامَسْتُمْ) وَكَذلك جواز وطء الحائض عند الانقطاع وعدمه إلى الغسل على اختلافهم فى (حَتَّى يَطْهُرْنَ).
“Bahwa dengan perbedaan qiraat timbullah perbedaan dalam hukum. Karena itu, para ulama fiqh membangun hukum batalnya wudhu’ orang yang disentuh (lawan jenis) dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qira’at pada: “kamu sentuh” dan “kamu saling menyentuh”. Demikian juga hukum bolehnya mencampuri perempuan yang sedang haidh ketika terputus haidhnya dan tidak bolehnya hingga ia mandi (dibangun) atas dasar perbedaan mereka dalam bacaan: “hingga mereka suci”.[14]
Qira’at لامستم diriwayatkan oleh lima orang qari’ yang tujuh, yaitu: Nafi’, Ibn Katsir, Abu ‘Amr, ‘Ashim dan Ibn ‘Amir. Sementara dua qari’ lainnya, yakni Hamzah dan Al-Kisaiy, membaca لمستم (tanpa memanjangkan bacaan ل). Kedua qira’at itu diakui oleh para ulama sebagai qira’at yang sah dan mutawatir. Oleh karena itu, kedua qira’at itu wajib diterima sebagai Al-Qur’an yang datang dari Allah yang mutlak benar dan berlaku secara universal.
Dalam menetapkan hukum berdasarkan ayat 6 dari Al-Maidah tersebut,pada umumnya ulama fiqh terbagi kepada dua kelompok. Pertama, cenderung kepada qira’at لامستم (dengan memanjangkan bacaan لا) lalu mereka menetapkan bahwa yang dimaksud dengan لامستم dalam ayat itu adalah jimak. Pendapat ini dianut oleh pengikut mazhab Hanafi, sambil merujuk kepada pendapat ‘Ali bin Abbas, al-Hasan, Mujahid, dan Qatadah. Kelompok kedua cenderung kepada qira’at لمستم (tanpa memanjangkan ل) lalu mereka menetapkan hukum, bahwa yang dimaksud: asal bersentuhan kulit laki-laki dan wanita secara langsung tanpa batas, batal wudhu masing-masing pihak. Pendapat ini dianut oleh pengikut mazhab Syafi’i, sambil merujuk kepada pendapat Ibn Mas’ud, Ibn ‘Umar, al-Zuhri, Rabi’ah, ‘Ubaydah, al-Sya’bi, Ibrahim, dan Ibn Sirin.[15]
Dan tentang ayat حتّى يطهرن, menurut qira’at Nafi’ dan Abu ‘Amr dibaca حتَّى يَطْهُرْنَ dan menurut qira’at Hamzah dan Al-Kisaiy dibaca حَتَّى يَطَّهَّرْنَ. Qira’at pertama dengan sukun tha’ dan dhammah ha’ menunjukkan larangan menggauli perempuan itu ketika haidh. Ini berarti bahwa ia boleh dicampuri setelah terputusnya haidh sekalipun belum mandi. Inilah pendapat Abu Hanifah. Sedangkan qira’at kedua dengan tasydid (suara ganda) tha dan ha menunjukkan adanya perbuatan manusia dalam usaha menjadikan dirinya bersih. Perbuatan itu adalah mandi sehingga يطَّهَّرْنَ didefinisikan dengan يَغْتَسِلْنَ (mandi). Berdasarkan qira’at Hamzah dan Al-Kisaiy, jumhur ulama menafsirkan bacaan yang tidak bertasydid dengan makna bacaan yang bertasydid.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang persyaratan berturut-turut (tatabu’) pada puasa kafarat sumpah. Mazhab Hanafi mensyaratkannya berdasarkan qira’at Ibn Mas’ud pada ayat:
فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ “Maka puasa tiga hari” (QS.Al-Maidah)
Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibn Abbas dan Mujahid. Sementara itu, menurut Malik dan Syafi’i memada puasa secara terpisah-pisah karena tatabu’(berturut-turut) itu merupakan sifat yang tidak wajib kecuali dengan nash atau qiyas manshush (ternash). Menurut mereka, baik nash maupun qiyas manshush tidak ditemukan dalam hal ini. Hal ini menunjukkan bahwa Malik dan Syafi’i hanya berpegang kepada qira’at yang tertulis dalam mushaf.[16]
I. Beberapa Contoh Perbedaan Hukum Akibat Perbedaan Qira’at
Dalam beberapa hal, qira’at bukan saja menimbulkan perbedaan dalam bunyi dan ucapan, tetapi juga perbedaan hukum sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Akan tetapi, perlu diingat lebih dahulu, bahwa hal ini bukanlah kekurangan. Sebagaimana pendapat Al-Qaththan bahwa justru sesuatu dapat menjadi bukti I’jaz Al-Qur’an, sebab dengan hanya berbeda dalam qira’at tanpa perlu memperpanjang bahasan, sudah cukup untuk menimbulkan hukum yang berbeda.[17]
1. Surat Al-Maidah ayat 6
فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى المَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الكَعْبَيْنِ.
Lafazh أَرْجُلِكُمْ dapat dibaca dengan manshub atau majrur. Qira’at yang membaca manshub menganggap “wa” di situ sebagai huruf ‘athaf kepada lafazh “wujuhakum”. Akibatnya yang dituntut adalah membasuh kedua kaki.
Adapun qira’at yang membaca majrur menganggap ‘athaf di situ kepada lafazh “bi ruusikum”, sehingga yang diwajibkan dalam wudhu adalah cukup dengan mengusap kaki saja, seperti halnya mengusap kepala. Namun sebenarnya ada hadits Nabi yang membolehkan sekedar mengusap sepatu bagi orang yang memakai khuff (sepatu), sedang bagi yang tidak, diharuskan membasuhnya.
2.Surat Al-Maidah ayat 89
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِيْنَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ أَهْلِيْكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ.
Ada qira’at yang menambah satu kata menjadi: تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ. Bagi qira’at ini, tambahan itu menjadi syarat, sehingga budak yang akan dimerdekakan itu haruslah yang mukmin. Imam Syafi’i sendiri berpendapat demikian. Dalam istilah Az-Zarqani, qira’at yang kedua ini dapat berfungsi sebagai penjelas hukum bagi qira’at pertama.
3.Surat An-Nisa ayat 12
وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُوْرَثُ كَلَالَةً أَوِامْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُدُسُ.
Sa’ad bin Abi Waqqas menambah dua kata dalam qira’atnya: أَوْ أُخْتٌ مِنْ أُمٍّ.
Qira’at Sa’ad sendiri dinilai bathil, sebab tambahan itu sebenarnya adalah penafsiran terhadap ayat tersebut. Penafsiran itu sendiri dalam isinya disepakati para ulama (ijma’). Dengan demikian, yang dimaksud dengan saudara perempuan di situ memang yang seibu, bukan saudara perempuan kandung atau yang seayah. Hanya saja Sa’ad menambah penafsiran itu dalam qira’at. Inilah yang bathil. Namun Az-Zarqany tetap juga menilai bahwa qiraat Sa’ad ini dapat berfungsi sebagai penjelas hukum bagi qiraat lainnya.
[1] Ramli Abdul Walid, Ulumul Qur’an (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2002), hal.173
[2] Rahmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal.138
[3] Herlina, S.Ag., M.Ag. , Studi al-Qur’an:(Pekanbaru:benteng media) hal:46
[4] Drs. Abd. Rozak, M.A. ,drs. Aminuddin, M.Ag. Studi Ilmu Qur’an: Mitra Wacana Media,2010 hal:89-90
[5] Prof. Dr. Nashruddin baidan , wawasan baru ilmu tafsir:(pustaka pelajar,yogyakarta) hal 93-96
[6] ibid
[7] Nashruddin Baidan, op. Cit., hal. 96
[8] Ibid
[9] Ibid, hal.100-101
[10] Drs. Abd. Rozak, M.A. ,drs. Aminuddin, M.Ag, op. Cit., hal:90-92
[11]Al IBYARIY, ibrahim,Pengenalan Sejarah Al-Qur’an:(cv. Rajawali, Jakarta) hal:105-108
[12] Nashruddin Baidan, op. Cit., hal.108-110
[13] Ibid.
[14] Ramli Abdul Walid, op. cit., hal. 144-145
[15] Nashruddin Baidan, op. Cit., hal.111
[16] Ramli Abdul Walid, op. Cit., hal.147-148
[17] Rahmat Syafe’i, op. Cit., hal.187
A. Sejarah Munculnya Ilmu Qiraat
B. Pengertian Qiraat
C. Al-Qur’an Diturunkan Atas Tujuh Huruf
D. Perbedaan Qiraat dalam Membaca Al-Qur’an
E. Macam-Macam Qira’at
F. Tokoh-Tokoh Qira’at
G. Kedudukan Qira’at Al-Qur’an Ditinjau dari Kaidah Bahasa Arab
H. Pengaruh Qira’at dalam Mengistinbath Hukum
0 Response to "Pengaruh Qira’at dalam Mengistinbath Hukum, pengaruh perbedaan qira'at dalam penafsiran al-qur'an dan istinbath hukum "
Post a Comment