بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله رب العالمين، اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد ، لا إله إلا أنت سبحانك إني كنت من الظالمين

Makalah Tafsir Al Quran, makalah tafsir al quran pdf makalah tafsir al fatihah kumpulan makalah tafsir makalah sejarah penafsiran al qur an makalah ulumul quran tentang tafsir makalah macam-macam tafsir makalah sumber tafsir pengertian tafsir al-quran

Pengertian Tafsir Menurut Para Ahli, Klasifikasi Tafsir, Metode Tafsir, Syarat Mufassir, Pembagian Tafsir, Pengertian Takwil, Perbedaan Tafsir dan Takwil, Pengertian Terjemah Al-Qur'an, Syarat-syarat Penerjemah Al-Qur’an

 A.    TAFSIR
1.    Pengertian Tafsir

Secara bahasa, kata tafsir berasal dari fassara yang bermakna awdhaha dan bayyana, dimana tafsir sebagai mashdar dari fassara semakna dengan idhah dan tabyin, kata-kata tersebut dapat diterjemahkan kepada “menjelaskan” atau “menyatakan”. Al-Jarjani  memaknai kata tafsir itu dengan makna al-kasyf wa al izhhar (membuka dan menjelaskan atau menampakkan) istilah tafsir dalm makna membuka digunakan baik membuka secara konkret (al-hiss) maupun abstrak yang bersifat rasional. Al quran menggunakan istilah tafsir dalam makna penjelaasan, seperti yang terdapat dalam surah Al Furqan ayat 33:


“Tidaklah orang-orang kafir itu dating kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kami dating kepadamu membawa sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. “
Kata fassarapada ayat diatas merupakan tsulatsi mazid bi harf. Maka dengan demikian secara harfiah, tafsir dapat diartikan kepada “banyak memberikan penjelasan”. Maka, menafsirkan Al Qur’an berarti memberikan makna komentar terhadap ayat-ayat Al Qur’an sesuai dengan pengertian atau makna yang dapat dijangkau oleh mufassir.

Tafsir dapat diartikan pula menelaskan dan menyingkap makna yang tersembunyi, menyingkap lafadh yang sulit.

Menurut istilah adalah sebagai berikut Pengertian Tafsir Menurut Para Ulama

a)    Menurut Al-Kilby

“tafsir adalah mensyarahkan Al Qur’an , menerangkan makna dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nash-Nya ataupun dengan isyarat-Nya ataupun dengan najwah-Nya.”
b)    Menurut Az Zarkasyi dalam Al-Burhan berkata:
“tafsir adalah menerangkan makna-makna Al Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.”

2.    Klasifikasi Tafsir

Para ulama mengklasifikasikan tafsir menjadi tiga macam yaitu tafsir bil ma’tsur, tafsir bir ra’yi, dan tafsir bil isyarah.

a.    tafsir bil ma’tsur

Al ma’tsur berarti sesuatu yang diriwayatkan. Secara istilah tafsir bil ma’tsur adalah penafsiran Al Qur’an dengan Al Qur’an, penafsiran Al Qur’An dengan hadits Nabi Saw., penafsiran Al Qur’an dengan perkataan sahabat, dan penafsiran Al Qur’an dengan perkataan Tabi’in.

1)    Menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an

    Makna suatu lafal yang belum jelas, yang terdapat dalam suatu ayat, kadang-kadang dijelaskan oleh ayat lain, baik ayat sesudahnya secara berurutan maupun ayat lain yang terdapat dalam surah yang sama tau surah yang berbeda. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam surah Al Baqarah ayat 2. Ayat ini ditutup dengan lafal al-muttaqin (orang-orang yang bertakwa); dalam ayat tersebut tidak disebutkan apa yang disebut denganal-muttaqin itu. Maka ayat 3-5 surah yang sama memnjelaskan maksudnya, selin itu pengertiaal-muttaqin juga dijelaskan oleh ayat dalam surah lain, yaitu surah Ali ‘Imran ayat 134-135.
    Adz Dzahabi membagi tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an ini kepada beberapa bentuk, yaitu:
a)    Menjelaskan suatu ungkapan yang ringkas dengan keterangan lebih luas yang dijelaskan dalam ayat lain.
b)    Menyamakan suatu ungkapan mujmal yang terdapat dalam suatu ayat dengan mubayyan yang terdapat dalam ayat lain.
c)    Menyamakan ayat yang masih muthlaq dengan ayat lain yang muqayyad.
d)    Mengkompromikan (al-jam’u) ayat-ayat yang diduga berbeda antara satu dengan yang lain.
e)    Menggunakan suatu qira’at untuk menjelaskan makna ungkapan dalam qira’at lain yang berbeda.
f)    Mentakhsishkan ayat yang umum (al-‘am) baik takhsish muttashil maupun takhsish munfashil, seperti penafsiran pemberian syafa’at kelak pada hari kiamat secara umum dalam surah al baqarah ayat 253, keumuman ayat itu ditakhsishkan oleh surah An Najm (53) ayat 26, sehingga surah Al Baqarah ayat 253 dapat dipahami bahwa syafa’at pada hari kiamat tidak akan ada kecuali atas izin Allah.

2)    Menafsiran Al Qur’An dengan hadits Nabi Saw.

        Menafsiran Al Qur’An dengan hadits Nabi adalah menjelaskan makna suatu ayat berdasarkan keterangan Nabi, baik secara lansung maupun tidak. Karena nabi mendapatkan pengajaran dari Allah, maka beliaulah yang lebih tahu maksud nisi kandungan Al Qur’an. Dan penafsiran Al Qur’an yang didasarkan keterangan darinya tidaklah diragukan lagi kebenarannya.

    Beberapa bentuk penafsiran Alqur’an dengan hadits, yaitu sebagai berikut:

a)    Hadits menjelaskan ungkapan Alqur’an yang masih mujmal. Seperti menafsirkan perintah sholat dalam Alqur’an, dimana Al qur’an tidak menjelaskan secara mendetail tentang waktu sholat, jumlah rakaat dan cara mengerjakannya. Akan tetapi sunnah menjelaskan hal itu.
b)    Menjelaskan mak’na yang sulit (musykil), seperti kesulitan para sahabat memahami makna kata Khayth al-abyadh (benang putih)dan khayth al aswad (benang hitam) yang terdapat dalam surah albaqarah ayat 187, kemudian Nabi menjelaskan maksud kata tersebut, yaitu benang putih itu siang dan benang hitam itu malam.
c)    Mentakhsish lafal yang umum, seperi umumnya lafal zhulm dalam surah al An’am ayat 82: kemudian nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud zhulm dalam ayat ini adalah syirik.
d)    Hadist men-qaid-kan ungkapan yang masih muthlaq.
e)    Hadits menjelaskan nasakh.
f)    Hadits menguatkan penjelasan Al Qur’an.

3)    Menafsirkan Al Qur’an dengan Perkataan Sahabat, dan Penafsiran Al Qur’an dengan Perkataan Tabi’in.

    Sahabat adalah generasi pertama yang mendapat pengajaran Al Qur’an secara langsung dari Nabi Saw.. sebagai orang Arab, mereka dapat memahami ayat-ayat Al Qur’an dengan baik. Apabila adal ayat atau lafal yang tidak dipahami, mereka dapat menanyakanya kepada Nabi Saw., hal itu tentu saja di kala Nabi masih hidup. Setelah Nabi wafat, para sahabat dalam menafsirkan ayat merujuk kepada ayat-ayat lain yang ada kaitan dan kesamaannya dengan ayat yang ditafsirkan. Jika tidak ditemukan mereka merujuk kepada hadits. Jika hal itu tidak ditemukan pula, barulah mereka berijtihad memahaminya. Hasil ijtihad mereka inilah yang juga dapat dijadikan sumber dalm menafsirkan Al Qur’an oleh para tabiin dan umat islam setelah mereka.
    Terdapat empat hal yang selalu dijadikan oleh para sahabat sebagai rujukan dalam ijtihad mereka menafsirkan Al Qur’an. Yaitu:
a)     Pengetahuan mereka mengenai Bahasa Arab.
b)     Pengetahuan mereka mengenai adat kebiasaan orang Arab.
c)     Pengetahuan mereka tentang keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab, waktu turunnya Al Qur’an.
d)     Kemampuan pemahaman mereka yang cukup luas.

b.    Tafsir Bir Ra’yi

1.    Pengertian Tafsir Bir Ra'yi

    Secara bahasa ar-ra’yu berarti al-i’tiqadu (keyakinan), al-’aqlu (akal)dan at-tadbiru (perenungan). Karena itu tafsir bir ra’yi disebut juga sebagai tafsir bil ’aqly dan bil ijtihady, tafsir atas dasar nalar dan ijtihad.
    Ra’yu juga berarti pendapat, yaitu pendapat mufassir mengenai makna suatu ayat, yang tidak didasarkan atas penjelasan ayat, hadits, perkataan sahabat, dan tabi’in. ia merupakan hasil ijtihad seorang mufassir.
    Menurut istilah, tafsir bir ra’yi adalah upaya untuk memahami nashAl Qur’an atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir/mufassir yang memahami betul bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafazh-lafazhnya dan dalalahnya, mengerti nasikh dan mansukh didalam Al Qur’an, dan sesuai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir.
    Ijtihad dalam konteks ilmu tafsir , khususnya tafsir bir ra’yi adalah kesungguhan seorang mufassir untuk memahami makna nashAl Qur’an, mengungkapkan maksud kata-katanya dan makna yang terkandung didalamnya. Ini adalah berarti ijtihad yang berarti kesungguhan untuk menjelaskan kandungan nashAl Qur’an, baik berupa hukum-hukum syari’at, hikmah-hikmah, nasihat-nasihat, contoh-contoh teladan, dan lain sebagainya.
    Banyak pro-kontra mengenai tafsir bir ra’yi ini. Dan dalam menyikapi pro-kontra tersebut, Husein Adz-Dzahabi menyatakan bahwa sesungguhnya perbedaan antar kelompok yang pro dan kontra adalah perbedaan dari sisi bahasa (lafzhiyah) saja, bukan perbedaan hakiki, ini dikukuhkan dengan pendapat Raghib Al Asfahani yang menyatakan bahwa, sesungguhnya kelompok yang pada tafsit bil ma’qul (tafsir bir ra’yi) akan menafsirkan dengan tidak melampaui periwayatan yang ada.
    Oleh karena itu juga, kemudian tafsir bir ra’yi dibedakan menjadi dua, yaitu:Tafsir bir ra’yi al Mahmud  dan Tafsir bir ra’yi al Madzmum.

2.    Macam-Macam Tafsir Bir Ra’yi

1)    Tafsir bir ra’yi al Mahmud (terpuji)

    Tafsirbir ra’yi yang dianggap terpuji yaitu tafsir yang sesuai dengan tujuan pembuat hukum (Allah), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, berpegang pada uslub (susunan) bahasa Arab dalam memahami nash Al Qur’an. Barangsiapa menafsirkan Al Qur’an menurut logikanya dengan memerhatikan ketentuan-ketentuan tersebut, serta berpegang pada makna-makna Al Qur’an, maka penafsirannya dapat diterima dan patut dinamai dengan Tafsir bir ra’yial Mahmud (terpuji).

2)    Tafsir bir ra’yi al Madzmum(tercela)

    Tafsir bir ra’yi dianggap tercela bila menafsirkan Al Qur’an menurut selera penafsir sendiri, disamping tidak mengetahui kaidah bahasa dan hokum, atau membawa Firman Allah kepada madzhabnya yang menyimpang atau rusak, atau kepada bid’ah dhalalah, atau mendalami Firman Allah Swt. Dengan ilmunya tapi tidak mengetahui kaidah bahasa Arab. Maka tafsir model ini ditolak dan termasuk tafsir bir ra’yi al madzmum (tercela).

3.    Syarat-syarat mufassir bir ra’yi

Adapun syarat-syarat seorang mufassir bir ra’yi adalah:
a)    Seorang mufassir harus mengetahui hadits Nabi baik dari sisi riwayah maupun dirayah.
b)    Seorang mufassir harus mengetahui bahasa Arab sebab melalui bahasa Arab seorang mufassir dapat menelaskan perendaharaan lafazh dan dalil-dalilnya.
c)    Seorang mufassir harus menguasai Ilmu Nahwu (Arab Gramatical),karena makna akan berubah dan berbeda disebabkan perbedaan i’rob.
d)    Seorang mufassir harus menguasai Ilmu Shorof. Karena dengan shorof akan diketahu bangunan dan timbngan kata.
e)    Seorang mufassir harus mengetahui sumber pengambilan kata.
f)    Seorang mufassir harus mengetahui Ilmu Balaghahserta tiga cabangnya (ilmu ma’ani, ilmu bayan dan ilmu badi’).
g)    Seorang mufassir harus mengetahui Ilmu Qira’at.
h)    Seorang mufassir harus mengetahui Ilmu Ushuluddin (Islamic Theology), seperti ilmu tauhid.
i)    Seorang mufassir harus  mengetahui Ilmu Ushul Fiqh, karena dengan menguasai ilmu tersebut dia mengetahui cara mengeluarkan hukum Islam dari ayat-ayat Al Qur’an dan dia dapat mengambil dalil dari ilmu tersebut.
j)    Seorang mufassir harus mengetahui  asabun nuzul ayat.
k)    Seorang mufassir harus mengetahui kisah-kisah dalam Al Qur’an.
l)    Seorang mufassir harus mengetahui  Nasikh dan Mansukh.
m)    Seorang mufassir harus mengamalkan apa yang dia ketahui.

4.    Sumber-sumber tafsir bir ra’yi

        Khusus untuk mufassir yang menggunakan sumber penafsiran bir ra’yi al Mahmud, wajib menyandarkan penafsirannya pada sumber-sumber (mashdar) berikut:
a)    Tafsir dengan merujuk kepada Al Qur’an itu sendiri
b)    Tafsir dengan mengutip dari Rasulullah Saw. Serta menjaga dan menghindari hadits dho’if dan hadits maudhu’.
c)    Tafsir dengan mengamil penafsiran sahaat yang shahih.
d)    Tafsir dengan mendasarkan kepada bahasa Arab, karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab.
e)    Tafsir yang dihasilkan harus sesuai dengan makna dzahir kalam dan sesuai dengan kekuatan hukumnya.

c.    Tafsir bil isyarah

1.    Pengertian Tafsir Bil Isyarah

        Kata isyari berasal dari kata asyara, secara harfiah, ia berarti menunjukkan, mengarahkan, atau member tanda. Jika dikaitkan dengan tafsir, yaitu “tafsir isyari” maka ia berarti maksud atau makna yang ditunjukkan oleh suatu ayat yang dapat ditangkap oleh seorang sufi berdasarkan araha kesufiannya.
        Secara istilah, Tafsir bil isyarah adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan isyarat-isyarat bathin yang terpancar dari para sufi, pengikut tarekat atau orang yang bersih hatinya.

    Beberapa ulama berbeda pendapat mengenai oleh tidaknya menggunakan tafsir ini. Seagian membolehkan dan sebagiannya lagi mengharamkan. Kelompok yang membolehkan memberikan syarat:
a)    Makna batinnya tidak bertentangan dengan makna zahir Al Qur’an.
b)    Penafsiran tidak mengklaim bahwa hanya penafsiran batinya yang paling benar, seraya mengaaikan makna dzahirnya.
c)    Penafsiran tidak jauh melenceng dari makna dasarnya.
d)    Hasil penafsirannya tidak ertentangan dengan hokum syar’I maupun akal.
e)    Hasil penafsirannya didukung dengan dalil-dalil syar’i lainnya.

        Sementara kelompok yang mengharamkan tafsir isyari menganggap bahwa tafsir ini hanya berdasarkan asumsi-asumsi yang sangat subjektif, sehingga hasil penafsirannya jauh dari kebenaran dan pada titik tertentu berakibat pada subjektivitas atau bahkan relativitas makna Al Qur’an.

2.    Klasifikasi Tafsir isyari

Tafsir isyari dapat diklasifikasikan kepada dua macam, yaitu:
a)    Isyarat tersembunyi yang dapat ditangkap seseorang yang ertakwa, shaleh, dan berilmu ketika memaca Al-Qur’an. Hal ini seperti penafsiran atau penakwilan yang dilakukan oleh Ibnu Abbas terhadap surah An Nashr, menurutnya, surah tersebut menjelaskan bahwa ajal Rasulullah sudah dekat.
b)    Isyarat jelas yang terkandung dalam ayat-ayat kauniyyah, dimana ia mengarah kepada pengetahuan modern.

3.     Metode Tafsir

    Jika dilihat dari segi teknis atau cara bagaimana mufassir menjelaskan makna ayat-ayat Al Qur’an, maka tafsir dapat dikategorikan dalam eerapa macam, yaitu tahlili, maudhu’i, muqaran, dan mujmal,
a)    Tahlili    : menafsirkan Alqur’an berdasarkan susunan ayat yang terdapat dalam mushaf.
b)    Muqaran    : menafsirkan Alqur’an dengan cara memperandingkan pendapat seorang mufassir dengan mufassir lainnya mengenai tafsir sejumlah ayat.
c)    Ijmali    : penjelasan maksud ayat Alqur’an secara umum dengan tidak memperincinya, atau penjelasan singkat tentang pesan-pesan Ilahi yang terkandung dalam suatu ayat.
d)    Mawdhu’i : menafsirkan ayat Al Qur’an tidak berdasarkan urutan ayat dan surah yang terdapat dalam mushaf, tetapi berdasarkan masalah yang dikaji.

4.     Kode Etik MenafsirkanAl Qur’an

a)    Seorang mufassir harus mengetahui hokum-hukum Allah mulai dari ibadah, mu’amalah, sunnah-sunnah yang ada didalamnya, agar mampu mele’takkan ayat-ayat yang mengatur hokum ini sesuai dengan tempatnya.
b)    Seorang mufassir harus menjaga perkataan para mufassir salaf dan khalaf. Karena dengan demikian akan memeri petunjuk padanya apa yang dia inginkan dan lebih mendekati kepada kebenaran.
c)    Seorang mufassir harus baik tabiatnya, cerdas pemahamannya, kuat pikirannya.
d)    Seorang mufassir harus mengetahui pintu-pintu rahasia, mulai dari ikhlas, tawakkal, penyerahan diri, mengetahui ilham dari Allah dan mampu membedakannya dengan bisikan setan.
e)    Seorang mufassir harus menyerahkan urusannya kepada Allah, merndahkan hatinya pada Allah, agar mendapat ilham sesuai petunjuk dan izin Allah, menghindar dari sifat ujub, rajin mengasah akalnya, memperaiki perangainya.
f)    Seorang mufassir harus memiliki sikap dan sifat zuhud dan cinta terhadap akhirat.

5.    Masalah-masalah yang Harus Dihindari Mufassir

    Supaya tidak terjadi kesalahan dalam menafsirkan, maka para mufassir harus menghindari:
a)    Membantah penbjelasan kalam Allah padahal dia tidak mengberti kaidah-kaidah bahasa Arab dan prinsip-prinsip hokum.
b)    Mendalami sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah seperti hal-hal yang ghaib.
c)    Menggunakan hawa nafsunya.
d)    Berpegang pada madzhabnya yangb menyimpang.
e)    Menafsirkan Al-Qur’an tanpa dalil.

B.    TAKWIL

1.    Pengertian Takwil

Kata ta’wil merupaka mashdar dari kata awwala, yu’awwilu, ta’wil, secara bahasa, ia berarti ruju’ (kembali) kepada asal.
    Dapat pula berarti kepada asal atau menjelaskan suatu perkataan. Secara istilah, ulama mutaakhirin mendefinisikan takwil dengan, memalingkan lafadzh dari makna yang tersurat.kepada makna yang tersirat karena dalil yang menghendakinya.
    As-said al jurjany berkata:
“takwil adalah memalingkan lafadh dari makna yang dzzahir kepada makna yang muhtaamil, apaila maknba yanbg muhtamil itu tidak berlawanan denbgan Al Qur’an san As-Sunnah.”
     Sementara ulama salaf mendefinisikan takwil denganb menjelaskan makna asal suatu ayat atau kalimat yang ada dalam Al Qur’an, sesuai dengban kaidah dasar dan berdasarkan penelitian yang mendalam.

    Pengertian kata takwil juga dapat mempunyai arti:
a.    Kembali dan mengembalikan, yakni mengembalikan makna pada proporsi sesungguhnya.
b.    Memalingkan, yakni memalingkan suatu lafadz tertentu atau kalimat-‘kalimat yang mempunyai sifat khusus dari makna lahir ke makna batin lafaz itu.
c.    Menyiasati, yakni lafadzh tertentu atau kalimat-kalimat yang mempunyai sifat khusus memerlukan siasat yang jitu untuk menemukan maksudnya yang paling tepat.

2.    Perbedaan Tafsir dan Takwil

    Maksud perbedaan disini bukanlah peredaan dalam arti paradoksial, melainkan peredaan dilihat dari segi spesifikasinya masing-masing, dan peredaan dari segi sifatnya masing-masing.
    Pendapat para ulama mengenai peredaaan tafsir dan takwil:
1.    Sebagian ulama mengatakan, tafsir lebih umum dari takwil karena ia dipakai dalam Kitab Allah dan lainnya, sedangkan takwil leih anyak digunakan dalamKita Allah.
2.    Tafsir pada umumnya digunakan pada lafal dan mufrodat, sedangkan takwil pada umumnya digunakan pada makna dan kalimat.
3.    Dikalangan ulama mutaakhkhirin, takwil diartikan kepada “memalingkan makna suatu lafal dari makna yang kuat, kepada makna yang kurang kuat karena disertai oleh dalil yang menunjukkan demikian. Sedangkan tafsir menjelaskan makna suatu ayat erdasarkan makna yang kuat.
4.    Diantara ulama ada pula yang mengatakan, tafsir adalah penjelasan yang berdasarkan riwayah, sedangkan takwil penelasan yang berdasarkan dirayah.
5.    Tafsir menerangkan makna-makna dari bentuk yang tersurat, sedangkan takwil adalah dari yang tersirat.
6.    Tafsir berhubungan dengan makna-makna ayat atau lafadzh yang iasa-iasa saa, sedangkan takwil berhubungan dengan makna yang kudus.
7.    Tafsir mengenai penelasan maknanya telah dierikan oleh Al Qur’an sendiri, sedangkan takwilpenjelasan maknanya diperoleh melalui istinbath, dengan memanfaatkan ilmu-ilmu alatnya.

3.    TERJEMAH

1.    Pengertian Terjemah Al-Qur'an

    Teremah berasal dari Bahasa Arab, tarjamah atau turjamah,  yang berarti:
a.    Menyampaikan perkataan kepada orang yang belum mengetahuinya,
b.    Menjelaskan perkataan dengan bahasa aslinya,
c.    Menjelaskan perkataan dengan bahasa lain,
d.    Mengalihkan bahasa satu kepada bahasa lain.
    Tetapi secara kebiasaan terjemah bisa dipahami dengan makna yang keempat., denbgan demikian,terjemah  secara terminologi di definisikan dengan mengungkapkan makna seuah perkataan dari bahasa asal kepada bahasa lain dengan tetap memperhat’ikan semua makna dan maksud yang terkandung dalam bahasa asalnya.

2.    Model terjemah

    Terjemah bisa dibedakan menadi dua model, yaitu model terjemah harfiyah dan model terjemah tafsiriyah. Terjemah harfiyah dibagi menjadi dua macam yaitu terjemah harfiyah leterlek, ketat dan apa adanya, dan terjemah harfiyah meskipun leterlek, tetapi sangat tergantung kemampuan bahasa sang penerjemah.
a.    Terjemah harfiyah leterlek dan ketat dimana bahasa penerjemah sama persis susunannya dan strukturnya dengan bahasa asal, letak kata per kata, uslub, dan keindahan balaghahnya, pun sama, Terjemah harfiyah jenis ini jelas tak mungkin dilakukan untuk menerjemakan Al Qur’an. Karena Al Qur’an diturunkan oleh Allah Swt. Untuk dua tujuan :
a)    Al Qur’an  sebagai tanda dan bukti kebenaran Nabi Muhammad Saw. Dan apa yang disampaikannya adalah dari Allah Swt. Ini adalah keeradaan dan fungsi Al Qur’an sebagai mu’jizat yang dapat melemahkan para penantangya. Dan ini artinya tidak isa dihadirkan oleh manusia, meski manusia bekerjasama dengan jin sekalipun.
b)    Al Qur’an  diturunk’an Allah Swt. Sebagai hidayah  bagi kehidup’an manusia, baik didunia maupun di akhirat.

b.    Terjemah harfiyah yang meski leterlek, tetapi lebih tergantung pada kemampuan bahasa sang penerjemah. Penerjemah jenis ini, meski dibenarkan untuk digunakan pada umumnya, tetapi tidak dienarkan untuk menerjmahkan Al Qur’an. Karena akan membahayakan dan dapat merusak struktur bahasa Al Qur’an dan bias merndahkan kewibawaannya.
Kedua Terjemah harfiyah  diatas, tidak bisa dikatakan sebagai tafsir Al Qur’an kepada selain bahasa Arab. Karena Terjemah harfiyah yang leterlek dan sangat ketat, jelas tidak mungkin dilakukan. Sementara Terjemah harfiyah yang meski leterlek, tetapi tergantung pada kemampuan bahasa sang penerjemah, juga adalah’ peneremahan yang tidak dibenarkan dilakukan terhadap Al Qur’an

c.    Terjemah tafsiriyah, yaitu menelaskan suatu ungkapan dan maknanya yang terdapat dalam suatu bahasa dengan menggunakan bahasa lain, tanpa menjaga atau memelihara susunan serta tertib bahasa aslinya, dan juga tidak pula mengungkapkan semua makna yang dimaksudkan oleh bahasa aslinya.

3.    Syarat-syarat Penerjemah Al-Qur’an

a)    Penerjemah Al-Qur’an adalah seorang Muslim. Maka penerjemah non-muslim tidak dibenarkan menerjemahkan Al-Qur’an, karena ia tidak Beriman kepada Al-Qur’an dan ke benaran Islam.
b)    Penerjemah Al-Qur’an adalah orang yang adil dan tsiqah atau bisa dipercaya. Orang yang fasiq tidak dibenarkan menerjemahkan Al-Qur’an.
c)    Penerjemah Al-Qur’an adalah orang yang menguasai mahir dalam bahasa Penerjemahnya, memiliki pengetahuan luas akan pernik-pernik bahasa tersebut.

Adz-Dzahabi, dengan redaksi yang berbeda, menjelaskan syarat-syarat bagi penerjemahanAl-Qur’an, yaitu:
a)    Penerjemah Al-Qur’an hendaknya berpedoman pada syarat-syarat sebagaimana syarat penafsiran, sehingga Penerjemah tidak mentakwilkan Al-Qur’an.
b)    Penerjemah Al-Qur’an jauh dari kecenderungan aqidah yang menyimpang dan tidak sesuai dengan Al-Qur’an.
c)    Penerjemah Al-Qur’an adalah orang yang menguasai dan mahir bahasa, baik bahasa asal yang diterjemahkannya maup’un bahasa penerjemah nya.
d)    Dalam menuliskan penerjemahan Al-Qur’an, penerjemah hendaknya menuliskan Al-Qur’an terlebih dahulu, lalu tafsirnya, baru kemudian terjemahnya. Sehingga yang dituliskan bukanlah Terjemah harfiyah, tetapi terjemah tafsiriyah.
Kesimpulan
1.    Dalam rangka menelaah ayat-ayat Alqur’an dengan tujuan untuk memahami redaksi Al Qur’an, kita bisa melakukan penafsiran, pentakwilan dan terjemah.
2.    Tafsir menurut Menurut Az Zarkasyi dalam Al-Burhan yaitu: Tafsir adalah menerangkan makna-makna Al Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
3.    Para ulama mengklasifikasikan tafsir menjadi tiga macam, yaitu:
a.    Tafsirbil ma’tsur,
b.    Tafsirbir ra’yi,
c.    Tafsirbil isyarah.
4.    Jika dilihat dari segi teknis atau cara bagaimana mufassir menjelaskan makna ayat-ayat Al Qur’an, maka tafsir dapat dikategorikan dalam beberapa macam, yaitu:
a.    tahlili,
b.    maudhu’i,
c.     muqaran,
d.    mujmal.
5.    Dalam menafsirkan al qur’an perlu juga diperhatikan kode etik menafsirkan al qur’an dan masalah-masalah yang harus dihindari mufassir.
6.    Pengertian takwil Menurut As-said al jurjany : “takwil adalah memalingkan lafadh dari makna yang dzzahir kepada makna yang muhtaamil, apaila maknba yanbg muhtamil itu tidak berlawanan denbgan Al Qur’an san As-Sunnah.”
7.    Terdapat peredaan antara tafsir dan takwil, maksud perbedaan disini bukanlah peredaan dalam arti paradoksial, melainkan peredaan dilihat dari segi spesifikasinya masing-masing, dan peredaan dari segi sifatnya masing-masing.
8.    Terjemah  di definisikan dengan mengungkapkan makna seuah perkataan dari bahasa asal kepada bahasa lain dengan tetap memperhat’ikan semua makna dan maksud yang terkandung dalam bahasa asalnya
Terjemah dibedakan menadi dua model, yaitu :
a.    model terjemah harfiyah, Terjemah harfiyah dibagi menjadi dua macam yaitu terjemah harfiyah leterlek, ketat dan apa adanya, dan terjemah harfiyah meskipun leterlek, tetapi sangat tergantung kemampuan bahasa sang penerjemah
b.    model terjemah tafsiriyah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
    Abu Anwar, M.Ag, 2012,Ulumul Qur’an, Jakarta: AMZAH.
    H. Anshari, LAL. M.A. 2013, Ulumul Qur‘An : Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
    Kadar M. Yusuf, M.Ag, 2009, Studi AlQur’an, Jakarta: AMZAH.
    M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 2010, Sejarah Ilmu Al Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.


Related Post:




0 Response to "Makalah Tafsir Al Quran, makalah tafsir al quran pdf makalah tafsir al fatihah kumpulan makalah tafsir makalah sejarah penafsiran al qur an makalah ulumul quran tentang tafsir makalah macam-macam tafsir makalah sumber tafsir pengertian tafsir al-quran"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel